DEMOKRASI DALAM SEJARAH ISLAM


PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang, demokrasi merupakan sebuah sistem tata negara yang paling banyak dianut negara-negara di dunia. Demokrasi yang mengedepankan asas mufakat dan kebebasan beraspirasi, menjadikannya sebagai sistem yang dianggap paling ideal. Demokrasi menjamin terpenuhinya setiap hak dan kewajiban setiap warga negara. Tak khayal bila negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun memakai sistem ini.
Kemudian apabila timbul pertanyaan, “Bagaimana interpretasi Islam tentang demokrasi?”, sudah pasti hampir kebanyakan umat Islam sendiri kurang mengetahuinya dengan pasti. Prosentase umat yang mengakui konsep demokrasi berasal dari Barat lebih besar dari yang mengetahui bagaimana Islam berinterpretasi tentang konsep ini. Maka dari itu, semoga penyusunan makalah ini bisa membuka wawasan kita tentang demokratisme Islam.
DEMOKRATISME MUHAMMAD
Sebenarnya tanpa mengiblat bangsa barat, Islam sendiri mempunyai sebuah gambaran sebuah sistem tata negara yang sangat demokratis apabila ditelaah secara mendalam. Hal itu terefleksi dari kandungan ayat-ayat Al Qur’an dan petunjuk-petunjuk dari Nabi Muhammad SAW. Dan telah terbukti sebagaimana Rasulullah telah menyatukan Bangsa Arab yang bersuku-suku, bertabiat keras dan mengelompok dengan kepemimpinannya yang demokratis.
Buku-buku sejarah mencatat bahwa di luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya sebagai rasulullah, Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) Beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.
Sikap demokratis Nabi Muhammad SAW ini barangkali merupakan sikap demokratis pertama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan dan non egaliter. Sebagai contoh bukti kedemokratisan Beliau adalah sebagai berikut:
  1. Ketika Nabi Muhammad SAW diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama) di luar status beliau sebagai pemegang otoritas agama, beliau mengambil pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuasaan Beliau sebagi tehnik memperoleh legitimasi kekuasaan. Perjanjian ini dikenal dengan “Perjanjian Aqobah”. Perjanjian ini didikuti oleh 12 orang dan pada perjanjian Aqobah II diikuti oleh 73 orang.[1] Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan  rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Dan kerelaan itu dinyatakan dalam sumpah setia tersebut.
  2. Ketika Beliau membentuk negara pertama kali dalam Islam, yaitu Negara Madinah—yang multi agama—Beliau tidak menggunakan Al Qur’an sebagai konstitusi negara. Karena Al Qur’an hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya. Beliau menyusun “Piagam Madinah” berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi sebagai konstitusi Negara Madinah. Pada masa Negara Madinah ini pula Beliau mengenalkan konsep “Bangsa” (al Ummah) sebagai satu kesatuan warga negara Madinah tanpa membedakan asal usul suku.[2]
  3. Ketika muncul pihak-pihak yang bersikap intoleran dan khianat terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama maupun dari masyrakat Arab, sehingga meletus berbagai peperangan seperti perang Badar, Uhud dan Ahzab serta hingga terjadi Fath al-Makkah (8 H). Pada serangkaian peristiwa tersebut, sikap yang diberikan umat Islam pada pihak lawan sangatlah penuh penghargaan dan diplomasi yang bijaksana.[3]
Sebelum Beliau wafat (11 H/632 M) seluruh jazirah Arab telah bersatu dibawah satu kekuatan politik, hal ini menarik untuk dikaji. Belum pernah dalam sejarah orang-orang nomad padang pasir itu dapat dipersatukan. Watak mereka yang keras akibat gemblengan alam yang tidak ramah, sifat egois, dan angkuh tidak mau diperintah, dapat dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW melalui ajaran Islam. Bahkan pula sejak waktu itu masyarakat Arab Baduwi yang tidak dikenal, kini muncul sebagai satu kekuatan yang membawa obor penerang sehingga dunia pun menjadi kaget.[4]
Dari kenyataan sejarah tersebut, Maka benarlah mengapa Nabi Muhammad SAW termasuk dalam predikat tokoh yang sangat berpengaruh di dunia. Dengan sikap kepemimpinan yang penuh diplomatis, yang tidak hanya diperuntukkan kepada umatnya, namun juga kepada pihak-pihak yang selalu oposisi terhadap Beliau.
DEMOKRASI PASCA NABI
Sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, ternyata Beliau tidak memberi petunjuk/wasiat tentang bagaimanakah sistem tatanan negara yang harus dijalankan oleh umat Islam, apakah semisal bangsa-bangsa Yunani atau Romawi. Karena pada waktu Beliau memimpin umat Islam, tidak ada sebuah sistem yang jelas dalam ketatanegaraan. Karena pada waktu itu integritas umat sangatlah kental dan karena adanya sebuah paradigma yang masih sangat kuat untuk senantiasa taat kepada Allah dan rasul-Nya.
Meskipun demikian, sebenarnya Nabi SAW telah memberikan contoh bagaimana sebuah negara dijalankan, yaitu asas musyawarah. Beliau senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat setiap akan menghadapi sebuah peperangan, tidak semata-mata atas pemikiran Beliau. Beliau senantiasa membuka lebar pendapat sahabat-sahabatnya. Sehingga tanpa disusun adanya teori, Nabi Muhammad SAW menganjurkan—bahkan menurut ahli fiqih, anjuran Nabi SAW bisa berarti perintah—asas musyawarah yang tiada lain sama dengan demokrasi.
Kepemimpinan setelah Nabi SAW wafat dan nilai demokratisnya, semakin memudar seiring perjalanan pergantian pemimpin umat Islam. Jelasnya akan dikaji sebagaimana berikut:
Masa Kholifah Abu Bakar ash-Shiddiq
Setelah Nabi wafat, umat Islam terjadi konflik yang kritis mengenai siapakah pengganti Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menunjuk siapa-siapa yang akan menggantikan Beliau, bahkan bagaimana memilih dan mencari sosok tersebut Beliau tidak memberikan petunjuk. Dalam menanggapi masalah ini para sahabat yang terbagi menjadi empat kelompok (Kaum Anshor, Muhajirin, keluarga dekat Nabi/Ahlul Bait dan kelompok Aristokrat Mekkah)[5] berkumpul untuk membicarakan siapa yang akan memegang kepemimpinan umat.
Kemudian mereka berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membicarakan lebih lanjut mengenai kepemimpinan sepeninggal Nabi SAW. Awalnya diwarnai ketegangan diantara golongan karena masih diwarnai semangat golongan/kelompok. Masing-masing mengangggap kelompoknya yang paling baik dan berjasa terhadap Islam, sehingga berhak menduduki jabatan khalifah. Namun pada akhirnya semua mufakat—bukan sekedar suara terbanyak—kepemimpinan  umat akan dipegang oleh Abu Bakar.[6]
Musyawarah yang menghasilkan “mufakat bulat” itu merupakan suatu tradisi baru dalam musyawarah yag berdasarkan ukhuwah. Menurut Fazlur Rahman bahwa sistem syura dalam Al-Qur’an adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.[7] Dilihat dari perspektif ini, maka pilihan kelompok muslim modernis kepada demokrasi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, atau sesuatu yang bersifat akomodatif terhadap institusi politik demokratik Barat, tetapi Al-Qur’an memang mengajar demikian, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada masa awal kepemimpinan umat.
Kepemimpinan Abu Bakar sangat diwarnai jiwa yang demokratis. Selama masa dua tahun memegang tampu pemerintahan, sangatlah nampak kedemokrasian Abu Bakar. Kepemimpinannya dapat disimpulkan dari salah satu isi pidatonya pada hari pembaiatan bahwa ia akan mengakui kekurangan dan kelemahannya serta memberikan hak berpendapat untuk menegur dan memperbaiki khalifah bila berbuat salah.[8]
Masa Kholifah Umar bin Khathab
Pemilihan Umar bin Khathab sebagai khalifah berbeda sebagaimana pemilihan Abu Bakar. Abu Bakar terpilih melalui forum musyawarah untuk mufakat, dalam forum terbuka yang dihadiri oleh rakyat pada umumnya di Bani Saidah. Umar menjadi khalifah atas penunjukan langsung oleh khalifah Abu Bakar.
Khalifah Abu Bakar melakukan hal tersebut sudah barang tentu tidak dibuat-buat, tetapi justru dilandasi argumentasi dan pertimbangan khusus, antara lain: (1) Situasi politik di dalam negeri masih dianggap rawan, sebab banyk pembesar yang berambisi untuk menduduki jabatan khalifah; (2) Trauma psikologis Abu Bakar terhadap peristiwa di Saqifah Bani Saidah; (3) Negara dalam keadaan perang yang memiliki dua kubu militer, satu pihak menghadapi tentara Persia, dan di lain pihak berhadapan dengan pihak Romawi, sehingga dikhawatirkan bahwa kekuatan militer akan digunakan untuk mendukung interest politik.
Namun demikian, tidaklah Abu Bakar meninggalkan tradisi dari Nabi SAW untuk senantiasa bermusyawarah. Sebelum Abu Bakar memutuskan hal tersebut, terlebih dahulu dia bermusyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat, antara lain: Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Hudhair al Anshori, Said bin Zaid, dan lain-lain dari kaum Muhajirin dan Anshor. Ternyata mereka tidak keberatan untuk mencalonkan Umar.

[1] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hlm. 105-106
[2] Ibid, hlm. 117-120.
[3] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media) hlm. 222-223.
[4] Ibid, hlm. 224.
[5] Ibid, hlm. 233.
[6] Ibid, hlm. 234-235.
[7] A. Syafi Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta, LP3ES, 1985), hlm. 50.
[8] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media) hlm. 242.

Info Hukum Kepiting Menurut Islam


Kepiting menjadi perdebatan di kalangan ulama’ fiqh, sebagian ustad menjawab setengah hati dengan alasan sekenanya, sebagian berpendapat halal dan sebagian yang lain berpendapat haram, halal karena tidak ada hukum yang mengharamkan dan tidak bisa hidup di darat selamanya. Hukumnya haran karena kepiting bisa bertahan di darat dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan hadits yang mengatakan bahwa, salah satu kriteria hewan yang diharamkan adalah hewan yang bisa hidup di dua alam, yakni alam air dan alam darat.


Tiga standard untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan halal. Kedua, ada nash yang mengharamkannya. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal. Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. "Semua binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan membahayakan jasmani atau rohani kita," begitulah pendapat Hasanuddin. Merujuk QS. Al-Maidah ayat 96: "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut, sebagai makanan yang lezat bagimu..." Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal." Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai, darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan limfa) yang halal.

Lalu bagaimana dengan makanan yang "didiamkan" nash: tidak diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang mengharamkan. Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, "Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua." Serta dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, "Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang dimaafkan untuk kalian makan." Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum kepiting.

"Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash tentang halal atau haramnya," tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal --sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak. Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum makhluk amfibi.

Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtajkarya Imam Romli yang menyebutkan bahwa makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat hukumnya haram. "Kitab-kitab fikih Syafi’iyah kebanyakan menyatakan begitu, dan kitab Nihayah ini yang paling tegas," kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut Hasanuddin, juga berpendapat demikian. Dengan berbagai dasar yang kuat MUI menghalalkan makan kepiting

Namun Hasanuddin menandaskan bahwa pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam nash. Prof. Syechul Hadi P, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari agama Yahudi.

Adapun macam macam kepiting, yang sedang kita bicarakan ada empat macam, meski orang lain menyebutnya dengan “kepiting”:

• Scylla serrata,
• Scylla tranquebarrica,
• Scylla olivacea, dan
• Scylla pararnarnosain






Hewan Air
Hewan air terbagi menjadi 2 :
a. Hewan yang murni hidup di air, dia segera mati kalau dikeluarkan dari ekologinya, seperti ikan dan sejenisnya (benafas dengan insang)
b. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kodok, dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318 ) dan Al-Majmu’ (9/31-32), dan Al qurtuby juga memasukkan kepiting dalam kategori ini
Hukum hewan air bentuk yang pertama, menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (Al-Qur’an Surat Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
a. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
b. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu’ (9/32,33), Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]

Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Mereka berdalilkan dengan keumumam ayat dan hadits di atas. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya. Yaitu:

Hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:

نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ

“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod(1), kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).

Sisi pendalilannya, bahwa semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)

Keutamaan Zikir Kepada Allah


Allah Ta’ala berfirman:

وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ
 

 
“Dan sungguh zikir kepada Allah itu lebih besar.” (QS. Al-Ankabut: 45)


 
Allah Ta’ala berfirman:

فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ

 
“Maka ingatlah kalian kepada-Ku niscaya Aku akan ingat kepada kalian.”(QS. Al-Baqarah: 152)
 
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dia berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً

 
“Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku. Jika ia mengingat-Ku maka Aku akan mengingatnya. Jika ia mengingat-Ku dalam suatu kumpulan orang, maka Aku akan mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta. Jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, maka Aku akan mendekatkan diri kepadanya sedepa. Dan jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku akan mendatanginya dalam keadaan berlari.” (HR. Al-Bukhari no. 7405 dan Muslim no. 2675)

Dari Abu Ad-Darda` radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِخَيْرِ أَعْمَالِكُمْ وَأَرْضَاهَا عِنْدَ مَلِيكِكُمْ وَأَرْفَعِهَا فِي دَرَجَاتِكُمْ وَخَيْرٍ لَكُمْ مِنْ إِعْطَاءِ الذَّهَبِ وَالْوَرِقِ وَمِنْ أَنْ تَلْقَوْا عَدُوَّكُمْ فَتَضْرِبُوا أَعْنَاقَهُمْ وَيَضْرِبُوا أَعْنَاقَكُمْ قَالُوا وَمَا ذَاكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ ذِكْرُ اللَّهِ

 
“Maukah kalian saya beritahukan tentang sebaik-baik amalan kalian, yang lebih dicintai oleh Rabb kalian, lebih mengangkat derajat kalian, dan ini lebih baik bagi kalian daripada kalian bersedekah dengan emas dan perak, lebih baik daripada kalian berperang dengan musuh-musuh kalian kemudian kalian tebas batang leher mereka atau mereka menebas batang leher kalian?” Para sahabat bertanya, “Apakah amalan itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Berzikir kepada Allah.” (HR. At-Tirmizi no. 3377, Ibnu Majah no. 3780, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2629)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

سَبَقَ الْمُفَرِّدُونَ قَالُوا وَمَا الْمُفَرِّدُونَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الذَّاكِرُونَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتُ

 
“Al-mufarridun telah mendahului.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah al-mufarridun itu?” Beliau menjawab, “Yaitu laki-laki dan perempuan yang banyak berzikir kepada Allah.” (HR. Muslim no. 2676)

Penjelasan ringkas:

Dari dalil-dalil di atas, kita bisa mengetahui beberapa keutamaan zikir kepada Allah:

a.    Zikir merupakan amalan terbaik dan terbesar yang seorang muslim mendekatkan diri kepada Allah dengannya.
b.    Orang yang senantiasa berzikir kepada Allah juga akan senantiasa diingat oleh Allah. Dan jika Allah mengingat seorang hamba, maka itu mengharuskan adanya rahmat, pertolongan, perlindungan, pengabulan doa, dan seterusnya dari Allah Ta’ala kepada hamba tersebut.
c.    Allah Ta’ala akan menyebut nama-nama orang yang berzikir tersebut di sisi para malaikat.
d.    Zikir lebih utama daripada berinfak dengan emas dan perak.
e.    Zikir lebih utama daripada berperang di jalan Allah. Walaupun di sini tentunya butuh perincian.
f.    Orang-orang yang berzikir kepada Allah adalah orang-orang yang terdepan dalam hal keutamaan.
g.    Berzikir kepada Allah akan melahirkan semangat untuk beramal sehingga dia bisa mendahului yang lainnya dalam mengamalkan suatu amalan saleh.
h.    Mereka yang berzikir kepada Allah akan masuk surga pertama kali sebelum yang lainnya. Karena mereka adalah orang-orang yang terdepan dan mendahului yang lain dalam hal keutamaan, baik di dunia maupun di akhirat.

Istri yang Sabar




Kisah Ujian Istri yang Sabar

Allah Yang Maha Mulia, Maha Halus dan Maha Penyayang pada hamba-hamba-Nya yang selalu bersabar atas takdir, terutama takdir yang tidak berkenan yang menimpanya, tidak mencela akan tetapi ridha dengan mengharap pahalanya dari-Nya. Kepada mereka Allah nyatakan “Sesungguhnya Allah selalu menyertai orang-orang yang bersabar”. 


Berikut ini ada sebuah kisah yang sangat mengharukan mengenai seorang istri yang sabar atas segala ujian yang menimpanya selama 15 tahun, kemudian atas kesabarannya tersebut, Allah memberi rizki dan kasih sayangnya yang tak terkira. Kisah ini adalah kisah nyata yang saya terjemahkan dari buku Qishasasu Muatsirat Lilfatayat karya Ahmad salim Badwilan. Kisah ini terjadi di Timur Tengah akan tetapi tidak disebutkan lokasi tepatnya. Saya hadiahkan terjemahan ini kepada seluruh istri mukminah yang sabar.

Tatkala malam-malam pengantin menjadi mimpi bagi para pemuda yang tengah memuncak birahinya, tatkala pernikahan hanya menjadi puncak tujuan untuk menyalurkan apa yang diinginkan oleh para pemuda, bahkan sebagian pemuda yang sedang ‘kepanasan’ mencari penyaluran dengan berbagai upaya. Berlari mencari tempat pelampiasan hawa nafsunya, sampaipun melakukannya diluar kaedah-kaedah dinul Islam. Entah itu dengan menggapai kesenangan yang haram, asyik khalwat bertelpon, kholwat ditempat sunyi atau via internet.

Namun disana, ada seorang akhwat yang sangat menjaga diri yang tidak pernah sekalipun melihat laki-laki sepanjang hidupnya kecuali mahramnya. Dia adalah akhwat yang hari ini hampir mustahil bisa menikah tanpa melalui proses pacaran yang lazim dilakukan para calon pasangan masa kini. Ini merupakan nikmat dan Allah akan memberikan rizki baginya seorang laki-laki shalih yang akan mengokohkan agamanya sepanjang usia.
Disinilah kisah itu bermula….

Seorang akhwat muslimah yang sangat menjaga diri, menutup wajahnya, berpegang teguh pada agamanya dan mulia akhlaknya. Kemudian Allah dengan pemeliharaan-Nya serta takdir-Nya memberinya rizki seorang suami muslim tanpa sedikitpun membuka penutup wajah, tangan dan bagian-bagian tubuh lainnya tidak sebagaimana yang lazim dilakukan para pemudi hari ini. Para pemudi hari ini sebagian mereka akan bersepi-sepi berpacaran, berbicara dengan suara keras, tersenyum dan tertawa dihadapan para lelaki tanpa malu hanya untuk memperoleh jodoh.

Maka, tibalah waktu malam pengantin bersama tuntunan Islam yang indah. Kedua pengantin bergegas memasuki kediamannya. Sang istri lalu menyiapkan hidangan pembuka dan berkumpul mesra diruang makan.
Tiba-tiba, keduanya mendengar suara ketukan pintu. Sang suami menghentak dan berkata gusar, “Siapa tamu yang mengganggu ini?”
Berdirilah istri menuju pintu lalu bertanya dari balik pintu, “Siapa?”.
Terdengar jawaban, “Saya adalah pengemis yang meminta sedikit makanan”.
Si istri kemudian menyampaikan kepada suaminya, “Dia pengemis meminta sedikit makanan”.
Marah si suami sembari berkata, “Hanya gara-gara pengemis ini istirahat kita terganggu apalagi kita sedang menikmati malam pertama?”.
Si suami bergegas keluar dan langsung menghantam pengemis itu secara bertubi-tubi. Sesat kemudian, terdengar rintihan dan ringisan.
Si pengemis berlalu membawa rasa lapar dan luka yang memenuhi ruh, jasad dan kehormatannya.
Si suami kembali menemui istrinya di dalam kamar pengantin dengan hati yang penuh emosi karena gangguan yang terjadi barusan.
Sejurus kemudian, si suami terkena sesuatu menyerupai penyakit kesurupan, lalu dia merasa dunia menyempit dan menghimpitnya dengan keras. Lalu dia berlari keluar rumah dengan menjerit, meninggalkan istrinya yang ketakutan, namun itulah kehendak Allah.
Sang istri bersabar dan mengharapkan pahalanya di sisi Allah ta’ala, tak terasa lima belas tahun telah berlalu.
Setelah lima belas tahun dari peristiwa itu, seorang muslim datang meminangnya, dia menerima dan berlangsunglah pernikahan.
Pada malam pertama, suami istri tersebut berkumpul didepan hidangan pembuka yang telah disajikan. Tiba-tiba keduanya mendengar suara ketukan pintu. Berkata suami kepada istrinya, “Pergilah bukakan pintu”.
Si istri menuju pintu dan bertanya, “Siapa?”.
“Pengemis meminta sesuap nasi”, kata tamu tersebut.
Si istri menemui suaminya yang langsung menanyakan siapa tamu. Si istri berkata, “Pengemis meminta sesuap nasi”.
Maka si suami berkata, “Panggil dia kemari dan siapkan seluruh makanan ini diruang tamu lalu persilahkan dia makan sampai kenyang”.
Si istri bergegas menyiapkan hidangan, membukakan pintu lalu mempersilahkan pengemis itu untuk makan.
Si istri kembali menemui suaminya dengan menangis. Suaminya bertanya, “Ada apa denganmu?, Kenapa kamu menangis?, Apa yang terjadi?, Apakah pengemis itu menghinamu?”
Si istri menjawab dengan linangan air mata yang memenuhi matanya, “Tidak”.
“Dia mengganggumu?”, tanya suami.
“Tidak”, jawabnya.
“Dia menyakitimu?”, tanya suami.
“Tidak”, jawabnya.
“Lalu kenapa engkau menangis?”, tanya suami.
Si istri berkata, “Pengemis yang duduk di ruang tamumu dan menyantap hidanganmu adalah mantan suamiku lima belas tahun yang lalu. Pada malam penganti itu, ada pengemis datang dan suamiku memukulinya dengan keras. Setelah itu mantan suamiku kembali menemuiku dengan dada yang sempit. Aku menyangkanya dia terkena jin atau kesurupan. Dia lari meninggalkan rumah tanpa ada kabar sampai malam ini….Ternyata dia menjadi pengemis.”
Si suami tiba-tiba menangis….
Istrinya bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”
“Taukah kamu siapa pengemis yang dipukul oleh mantan suamimu dulu?”, kata suami.
“Siapa dia?”, tanya sang istri.
“Sesungguhnya pengemis itu, aku….”, suaminya menjelaskan.
Maha Suci Allah yang Maha Perkasa Maha Membalaskan, yang telah membalas seorang hamba-Nya yang faqir lagi miskin, yang datang dengan menundukkan kepalanya mengemis kepada manusia demi sesuap nasi untuk mengganjal rasa lapar dan dahaga. Rasa itu telah berlipat sakitnya dengan luka penzhaliman pada diri dan kehormatannya.

Sesungguhnya Allah tidak meridhai kelaliman, maka Allah menurunkan hukuman bagi siapa saja yang menghinakan hamba yang terzhalimi. Cukuplah bagi dia untuk bersabar atas ujian yang menimpa sampai Allah memberinya rizki yang berlimpah dan mengkayakannya dihadapan manusia. Kemudian Allah ganti menguji kepada lelaki yang zhalim, maka Allah mencabut seluruh kekayaannya dan jadilah dia pengemis nestapa.

Maha Suci Allah Yang Maha Mulia, yang telah memberi rizki seorang ibu mukminah yang selalu bersabar atas ujian Allah – selama lima belas tahun -, maka Allah menggantinya dengan suami yang jauh lebih baik dari pada mantan suaminya dulu.

Semoga menguatkan kesabaran, keyakinan akan janji kasih sayang dari Yang Maha Penyanyang.
Ambil sebuah hikmah dari sebuah pengalaman……
Sumber:  
http://lenteradankehidupan.blogspot.com/2012/10/istri-yang-sabar.html

Hukum-Hukum Qurban


Pengertian Qurban
Kata kurban atau korban, berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata: qaruba (fi’il madhi) – yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati atau menghampiri (Matdawam, 1984).

Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim Anis et.al, 1972).

Dalam bahasa Arab, hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban, yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash-Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al-Jabari, 1994).
Hukum Qurban

Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)

Sebagian mujtahidin –seperti Abu Hanifah, Al-Laits, Al-Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik— mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam, 1984).
Ukuran “mampu” berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari menjalankan sunnah qurban (Al-Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan qurban antara lain, firman Allah SWT:
“Maka dirikan (kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (Qs. Al-Kautsar [108]: 2).
“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah.” [HR. At-Tirmidzi]
“Telah diwajibkan atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” [HR. Ad-Daruquthni].
Dua hadits di atas merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2 adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami.” [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Abu Hurairah RA. Menurut Imam Al-Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam IV/91].
Perkataan Nabi “fa laa yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah (keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW:
“Barangsiapa yang bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia melaksanakannya.” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).
Qurban juga menjadi wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata, “Ini milik Allah” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Keutamaan Qurban

Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:

“Tidak ada suatu amal anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih qurban.” [HR. At-Tirmidzi] (Abdurrahman, 1990).
Berdasarkan hadits itu Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat, “Menyembelih hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al-Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi SAW:
“Hai Fathimah, bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/165).
Waktu dan Tempat Qurban
a. Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:

“Barangsiapa menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan) Islam.” [HR. Bukhari].
Sabda Nabi SAW:
“Semua hari tasyriq (tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” [HR. Ahmad dan Ibnu Hibban].
Menyembelih qurban sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh. Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).
Perlu dipahami, bahwa penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits Al-Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan 10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya), tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
b. Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan hewan (Abdurrahman, 1990).

Hewan Qurban
< Jenis>
Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah: unta, sapi, dan kambing (atau domba). Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al-Jabari, 1994). Allah SWT berfirman:

“…supaya mereka menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah direzekikan Allah kepada mereka.” (Qs. Al-Hajj [22]: 34).
Dalam bahasa Arab, kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing, bukan yang lain (Al-Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau (jamus), sebab disamakan dengan sapi.
b. Jenis Kelamin
Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)

c. Umur
Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987; Mahmud Yunus, 1936).

d. Kondisi
Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan (Rifa’i et.al, 1978)

Berdasarkan hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan:

1. yang nyata-nyata buta sebelah,
2. yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
3. yang nyata-nyata pincang jalannya,
4. yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
5. yang tidak ada sebagian tanduknya,
6. yang tidak ada sebagian kupingnya,
7. yang terpotong hidungnya,
8. yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
9. yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al-Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).

Hewan yang dikebiri boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) [HR. Ahmad dan At-Tirmidzi] (Abdurrahman, 1990)
Qurban Sendiri dan Patungan

Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat) untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau sapi.

Jika murid-murid sebuah sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan kambing, dapatkah dianggap telah berqurban? Menurut pemahaman kami, belum dapat dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban. Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.
Perlu ditambahkan, bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu, dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:
“Dianjurkan bagi setiap keluarga menyembelih qurban.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi, An-Nasa`i, dan Ibnu Majah].
Teknis Penyembelihan

Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut:

Hewan yang akan dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah kiranya qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.

Penyembelih melakukan penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya: Dengan nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu akbar!”)
Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah) yaitu: “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu. Ya Allah, terimalah dari….) (Ad-Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al., 1978; Rasjid, 1990).

Penyembelihan, yang afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al-Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan, wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
Adz Dzaabih (penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya penyembelihnya muslim. (Al-Jabari, 1994).
Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan [HR. Bukhari dan Muslim].
Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)

Pemanfaatan Daging Qurban

Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al-Jabari, 1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan empuk.

Setelah penanganan hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut? Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada karib kerabat. Nabi SAW bersabda:
“Makanlah daging qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” [HR. Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, hadits shahih].
Berdasarkan hadits itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu: makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352; Al-Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).
Orang yang berqurban, disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib (Al-Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).
Akan tetapi jika daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad-Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984) .
Pembagian daging qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/tempat dari tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).
Bolehkah memberikan daging qurban kepada non-muslim? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya (Al-Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh. Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim (Al-Jabari, 1994).
Penyembelih (jagal), tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA:
“…(Rasulullah memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu daripadanya (hewan qurban).” [HR. Bukhari dan Muslim] (Al-Jabari, 1994).
Tapi jika jagal termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin atau fakir (Al-Jabari, 19984).
Menjual kulit hewan adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:
“Dan janganlah kalian menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu menjualnya…” [HR. Ahmad)] (Matdawam, 1984).
Sebagian ulama seperti segolongan penganut mazhab Hanafi, Al-Hasan, dan Al-Auza’i membolehkannya. Tapi pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai berkata, “Subhanallah! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia telah dijadikan sebagai milik Allah?” (Al-Jabari, 1994).
Kulit hewan dapat dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab –menurut pemahaman kami– larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja, tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid, kaligrafi Islami, dan sebagainya.
Penutup

Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting: hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya. Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan darah qurban kita. Allah SWT berfirman:

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (Qs. Al-Hajj [22]: 37). [ M. Shiddiq al-Jawi ]
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.

Ad-Dimasyqi, Muhammad bin Abdurrahman Asy-Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama. Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Al-Jabari, Abdul Muta’al. 1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha At Tarbawiyah). Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama. Jakarta: Gema Insani Press. 83 hal.
Anis, Ibrahim et.al. 1972. Al Mu’jam Al Wasith. Kairo: Tanpa Penerbit. 547 hal.
Ash Shan’ani. Tanpa Tahun. Subulus Salam. Juz IV. Bandung: Maktabah Dahlan.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000. Taysir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut: Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut: Daarul Fikr. 404 hal.
Matdawam, M. Noor. 1984. Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bina Karier. 41 hal.
Rasjid, H.Sulaiman. 1990. Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung: Sinar Baru. 468 hal.
Rifa’i, Moh. et.al. 1978. Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra 468 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin A. Marzuki. Bandung: Al Ma’arif. 229 hal
Yunus, Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putera. 48 hal.


HALAMAN

POPULAR POST