Kepiting menjadi perdebatan di kalangan ulama’ fiqh, sebagian ustad menjawab setengah hati dengan alasan sekenanya, sebagian berpendapat halal dan sebagian yang lain berpendapat haram, halal karena tidak ada hukum yang mengharamkan dan tidak bisa hidup di darat selamanya. Hukumnya haran karena kepiting bisa bertahan di darat dalam waktu yang cukup lama. Berdasarkan hadits yang mengatakan bahwa, salah satu kriteria hewan yang diharamkan adalah hewan yang bisa hidup di dua alam, yakni alam air dan alam darat.
Tiga standard untuk menyatakan halal atau haramnya makanan. Pertama, ada dalil berupa nash (Al-Quran atau hadis) yang menyatakan halal. Kedua, ada nash yang mengharamkannya. Ketiga, tidak ada nash yang menyatakan haram atau halal. Makanan yang dinyatakan halal oleh nash, antara lain, binatang laut. "Semua binatang laut hukumnya halal kecuali yang mengandung racun dan membahayakan jasmani atau rohani kita," begitulah pendapat Hasanuddin. Merujuk QS. Al-Maidah ayat 96: "Dihalalkan bagimu binatang buruan laut, sebagai makanan yang lezat bagimu..." Hadis riwayat Abu Hurairah juga menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda, "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal." Sedangkan makanan yang ditetapkan haram oleh nash antara lain bangkai, darah, dan daging babi (Al-Maidah ayat 3). Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal mengecualikan, ada dua bangkai (ikan dan belalang) dan dua darah (hati dan limfa) yang halal.
Lalu bagaimana dengan makanan yang "didiamkan" nash: tidak diharamkan dan tidak dihalalkan? Hasanuddin mengacu pada kaidah bahwa hukum dasar segala sesuatu adalah halal, selama tidak ada nash yang mengharamkan. Kaidah itu disarikan dari surah Al-Baqarah ayat 29, "Dialah Allah yang menciptakan segala yang ada di bumi ini untuk kalian semua." Serta dari hadis riwayat Ibnu Majah dan Turmuzi, "Halal adalah apa yang dihalalkan Allah dalam kitab-Nya, haram adalah yang diharamkan Allah dalam kitab-Nya, sedangkan apa yang tidak dinyatakan halal atau haram, maka itu termasuk yang dimaafkan untuk kalian makan." Di sinilah Hasanuddin menempatkan hukum kepiting.
"Kepiting termasuk binatang yang tidak ditegaskan oleh nash tentang halal atau haramnya," tulis Hasanuddin. Maka ketentuan hukumnya kembali kepada hukum asal segala sesuatu yang pada dasarnya adalah halal --sepanjang tidak berdampak buruk bagi jasmani dan rohani. Hasan menyarankan dilakukan uji laboratorium untuk memastikan apakah kepiting aman dikonsumsi atau tidak. Makalah guru besar ushul fikih ini mengundang perdebatan baru tentang hukum makhluk amfibi.
Ketua Komisi Fatwa KH Makruf Amin dan beberapa anggota komisi seperti KH Ghozali Masruri juga cenderung ke pendapat itu. Kiai Makruf menyitir kitab Nihayatul Muhtajkarya Imam Romli yang menyebutkan bahwa makhluk yang bisa hidup langgeng (hayyan daiman) di air dan darat hukumnya haram. "Kitab-kitab fikih Syafi’iyah kebanyakan menyatakan begitu, dan kitab Nihayah ini yang paling tegas," kata Makruf. Ibnu Arabi, menurut Hasanuddin, juga berpendapat demikian. Dengan berbagai dasar yang kuat MUI menghalalkan makan kepiting
Namun Hasanuddin menandaskan bahwa pendapat yang mengharamkan makhluk amfibi tidak memiliki dasar yang kuat dalam nash. Prof. Syechul Hadi P, ajaran bahwa makhluk amfibi itu haram bukan berasal dari Al-Quran, melainkan dari agama Yahudi.
Adapun macam macam kepiting, yang sedang kita bicarakan ada empat macam, meski orang lain menyebutnya dengan “kepiting”:
• Scylla serrata,
• Scylla tranquebarrica,
• Scylla olivacea, dan
• Scylla pararnarnosain
Hewan Air
Hewan air terbagi menjadi 2 :
a. Hewan yang murni hidup di air, dia segera mati kalau dikeluarkan dari ekologinya, seperti ikan dan sejenisnya (benafas dengan insang)
b. Hewan yang hidup di dua alam, seperti buaya dan kodok, dalam Tafsir Al-Qurthuby (6/318 ) dan Al-Majmu’ (9/31-32), dan Al qurtuby juga memasukkan kepiting dalam kategori ini
Hukum hewan air bentuk yang pertama, menurut pendapat yang paling kuat- adalah halal secara mutlak. Ini adalah pendapat Al-Malikiyah dan Asy-Syafi’iyah, mereka berdalilkan dengan keumuman dalil dalam masalah ini, di antaranya adalah firman Allah Ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ
“Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut”. (Al-Qur’an Surat Al-Ma`idah: 96)
Adapun bangkainya maka ada rincian dalam hukumnya:
a. Jika dia mati dengan sebab yang jelas, misalnya: terkena lemparan batu, disetrum, dipukul, atau karena air surut, maka hukumnya adalah halal berdasarkan kesepakatan para ulama. Lihat Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/195)
b. Jika dia mati tanpa sebab yang jelas, hanya tiba-tiba diketemukan mengapung di atas air, maka dalam hukumnya ada perselisihan. Yang kuat adalah pendapat jumhur dari kalangan Imam Empat kecuali Imam Malik, mereka menyatakan bahwa hukumnya tetap halal. Mereka berdalilkan dengan keumuman sabda Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam-:
هُوَ الطَّهُوْرُ مَاؤُهُ, اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ
“Dia (laut) adalah pensuci airnya dan halal bangkainya”. (HR. Abu Daud, At-Tirmidzy, An-Nasa`iy, dan Ibnu Majah dan dishohihkan oleh Imam Al-Bukhary). Lihat At-Talkhish (1/9)
[Al-Bidayah (1/345), Asy-Syarhul Kabir (2/115), Mughniyul Muhtaj (4/291), dan Al-Majmu’ (9/32,33), Al-Mughny ma’a Asy-Syarhul Kabir (11/84,195]
Adapun bentuk yang kedua dari hewan air, yaitu hewan yang hidup di dua alam. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat Asy-Syafi’iyah yang menyatakan bahwa seluruh hewan yang hidup di dua alam baik yang masih hidup maupun yang sudah jadi bangkai seluruhnya adalah halal kecuali kodok. Mereka berdalilkan dengan keumumam ayat dan hadits di atas. Dikecualikan darinya kodok karena ada hadits yang mengharamkannya. Yaitu:
Hadits Abu Hurairah -radhiallahu ‘anhu-, beliau berkata:
نَهَى رسول الله صلى الله عليه وسلم عَنْ قَتْلِ الصُّرَدِ وَالضِّفْدَعِ وَالنَّمْلَةِ وَالْهُدْهُدِ
“Rasulullah -Shallallahu ‘alaihi wasallam- melarang membunuh shurod(1), kodok, semut, dan hud-hud. (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shohih).
Sisi pendalilannya, bahwa semua hewan yang haram dibunuh maka memakannya pun haram. Karena tidak mungkin seekor binatang bisa dimakan kecuali setelah dibunuh. Lihat Al-Majmu’ (9/32-33)