DEMOKRASI DALAM SEJARAH ISLAM


PENDAHULUAN
Pada zaman sekarang, demokrasi merupakan sebuah sistem tata negara yang paling banyak dianut negara-negara di dunia. Demokrasi yang mengedepankan asas mufakat dan kebebasan beraspirasi, menjadikannya sebagai sistem yang dianggap paling ideal. Demokrasi menjamin terpenuhinya setiap hak dan kewajiban setiap warga negara. Tak khayal bila negara-negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam pun memakai sistem ini.
Kemudian apabila timbul pertanyaan, “Bagaimana interpretasi Islam tentang demokrasi?”, sudah pasti hampir kebanyakan umat Islam sendiri kurang mengetahuinya dengan pasti. Prosentase umat yang mengakui konsep demokrasi berasal dari Barat lebih besar dari yang mengetahui bagaimana Islam berinterpretasi tentang konsep ini. Maka dari itu, semoga penyusunan makalah ini bisa membuka wawasan kita tentang demokratisme Islam.
DEMOKRATISME MUHAMMAD
Sebenarnya tanpa mengiblat bangsa barat, Islam sendiri mempunyai sebuah gambaran sebuah sistem tata negara yang sangat demokratis apabila ditelaah secara mendalam. Hal itu terefleksi dari kandungan ayat-ayat Al Qur’an dan petunjuk-petunjuk dari Nabi Muhammad SAW. Dan telah terbukti sebagaimana Rasulullah telah menyatukan Bangsa Arab yang bersuku-suku, bertabiat keras dan mengelompok dengan kepemimpinannya yang demokratis.
Buku-buku sejarah mencatat bahwa di luar otoritas keagamaan yang menjadi tugas utamanya sebagai rasulullah, Nabi Muhammad SAW merupakan tokoh yang demokratis dalam berbagai hal. Bahkan ketika terjadi kasus-kasus yang tidak mempunyai sandaran keagamaan (wahyu) Beliau bersikap demokratis dengan mengadopsi pendapat para sahabatnya, hingga memperoleh arahan ketetapan dari Allah.
Sikap demokratis Nabi Muhammad SAW ini barangkali merupakan sikap demokratis pertama di Semenanjung Arabia, di tengah-tengah masyarakat padang pasir yang paternalistik, masih menjunjung tinggi status-status sosial klan dan non egaliter. Sebagai contoh bukti kedemokratisan Beliau adalah sebagai berikut:
  1. Ketika Nabi Muhammad SAW diminta suku-suku Arab menjadi penguasa sipil (non-agama) di luar status beliau sebagai pemegang otoritas agama, beliau mengambil pernyataan setia orang-orang yang ingin tunduk dalam kekuasaan Beliau sebagi tehnik memperoleh legitimasi kekuasaan. Perjanjian ini dikenal dengan “Perjanjian Aqobah”. Perjanjian ini didikuti oleh 12 orang dan pada perjanjian Aqobah II diikuti oleh 73 orang.[1] Dari titik ini para ulama Islam sejak dulu menegaskan bahwa kekuasaan pada asalnya di tangan  rakyat, karena itu kekuasaan tidak boleh dipaksakan tanpa ada kerelaan dari hati rakyat. Dan kerelaan itu dinyatakan dalam sumpah setia tersebut.
  2. Ketika Beliau membentuk negara pertama kali dalam Islam, yaitu Negara Madinah—yang multi agama—Beliau tidak menggunakan Al Qur’an sebagai konstitusi negara. Karena Al Qur’an hanya berlaku bagi orang-orang yang mempercayainya. Beliau menyusun “Piagam Madinah” berdasarkan kesepakatan dengan orang-orang Yahudi sebagai konstitusi Negara Madinah. Pada masa Negara Madinah ini pula Beliau mengenalkan konsep “Bangsa” (al Ummah) sebagai satu kesatuan warga negara Madinah tanpa membedakan asal usul suku.[2]
  3. Ketika muncul pihak-pihak yang bersikap intoleran dan khianat terhadap perjanjian yang telah disepakati bersama maupun dari masyrakat Arab, sehingga meletus berbagai peperangan seperti perang Badar, Uhud dan Ahzab serta hingga terjadi Fath al-Makkah (8 H). Pada serangkaian peristiwa tersebut, sikap yang diberikan umat Islam pada pihak lawan sangatlah penuh penghargaan dan diplomasi yang bijaksana.[3]
Sebelum Beliau wafat (11 H/632 M) seluruh jazirah Arab telah bersatu dibawah satu kekuatan politik, hal ini menarik untuk dikaji. Belum pernah dalam sejarah orang-orang nomad padang pasir itu dapat dipersatukan. Watak mereka yang keras akibat gemblengan alam yang tidak ramah, sifat egois, dan angkuh tidak mau diperintah, dapat dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW melalui ajaran Islam. Bahkan pula sejak waktu itu masyarakat Arab Baduwi yang tidak dikenal, kini muncul sebagai satu kekuatan yang membawa obor penerang sehingga dunia pun menjadi kaget.[4]
Dari kenyataan sejarah tersebut, Maka benarlah mengapa Nabi Muhammad SAW termasuk dalam predikat tokoh yang sangat berpengaruh di dunia. Dengan sikap kepemimpinan yang penuh diplomatis, yang tidak hanya diperuntukkan kepada umatnya, namun juga kepada pihak-pihak yang selalu oposisi terhadap Beliau.
DEMOKRASI PASCA NABI
Sebelum Nabi Muhammad SAW wafat, ternyata Beliau tidak memberi petunjuk/wasiat tentang bagaimanakah sistem tatanan negara yang harus dijalankan oleh umat Islam, apakah semisal bangsa-bangsa Yunani atau Romawi. Karena pada waktu Beliau memimpin umat Islam, tidak ada sebuah sistem yang jelas dalam ketatanegaraan. Karena pada waktu itu integritas umat sangatlah kental dan karena adanya sebuah paradigma yang masih sangat kuat untuk senantiasa taat kepada Allah dan rasul-Nya.
Meskipun demikian, sebenarnya Nabi SAW telah memberikan contoh bagaimana sebuah negara dijalankan, yaitu asas musyawarah. Beliau senantiasa bermusyawarah dengan para sahabat setiap akan menghadapi sebuah peperangan, tidak semata-mata atas pemikiran Beliau. Beliau senantiasa membuka lebar pendapat sahabat-sahabatnya. Sehingga tanpa disusun adanya teori, Nabi Muhammad SAW menganjurkan—bahkan menurut ahli fiqih, anjuran Nabi SAW bisa berarti perintah—asas musyawarah yang tiada lain sama dengan demokrasi.
Kepemimpinan setelah Nabi SAW wafat dan nilai demokratisnya, semakin memudar seiring perjalanan pergantian pemimpin umat Islam. Jelasnya akan dikaji sebagaimana berikut:
Masa Kholifah Abu Bakar ash-Shiddiq
Setelah Nabi wafat, umat Islam terjadi konflik yang kritis mengenai siapakah pengganti Rasulullah SAW. Rasulullah SAW tidak menunjuk siapa-siapa yang akan menggantikan Beliau, bahkan bagaimana memilih dan mencari sosok tersebut Beliau tidak memberikan petunjuk. Dalam menanggapi masalah ini para sahabat yang terbagi menjadi empat kelompok (Kaum Anshor, Muhajirin, keluarga dekat Nabi/Ahlul Bait dan kelompok Aristokrat Mekkah)[5] berkumpul untuk membicarakan siapa yang akan memegang kepemimpinan umat.
Kemudian mereka berkumpul di Saqifah Bani Saidah untuk membicarakan lebih lanjut mengenai kepemimpinan sepeninggal Nabi SAW. Awalnya diwarnai ketegangan diantara golongan karena masih diwarnai semangat golongan/kelompok. Masing-masing mengangggap kelompoknya yang paling baik dan berjasa terhadap Islam, sehingga berhak menduduki jabatan khalifah. Namun pada akhirnya semua mufakat—bukan sekedar suara terbanyak—kepemimpinan  umat akan dipegang oleh Abu Bakar.[6]
Musyawarah yang menghasilkan “mufakat bulat” itu merupakan suatu tradisi baru dalam musyawarah yag berdasarkan ukhuwah. Menurut Fazlur Rahman bahwa sistem syura dalam Al-Qur’an adalah mengubah syura dari sebuah institusi suku menjadi institusi komunitas, karena ia menggantikan hubungan darah dengan hubungan iman.[7] Dilihat dari perspektif ini, maka pilihan kelompok muslim modernis kepada demokrasi bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, atau sesuatu yang bersifat akomodatif terhadap institusi politik demokratik Barat, tetapi Al-Qur’an memang mengajar demikian, sebagaimana yang dilakukan oleh para sahabat pada masa awal kepemimpinan umat.
Kepemimpinan Abu Bakar sangat diwarnai jiwa yang demokratis. Selama masa dua tahun memegang tampu pemerintahan, sangatlah nampak kedemokrasian Abu Bakar. Kepemimpinannya dapat disimpulkan dari salah satu isi pidatonya pada hari pembaiatan bahwa ia akan mengakui kekurangan dan kelemahannya serta memberikan hak berpendapat untuk menegur dan memperbaiki khalifah bila berbuat salah.[8]
Masa Kholifah Umar bin Khathab
Pemilihan Umar bin Khathab sebagai khalifah berbeda sebagaimana pemilihan Abu Bakar. Abu Bakar terpilih melalui forum musyawarah untuk mufakat, dalam forum terbuka yang dihadiri oleh rakyat pada umumnya di Bani Saidah. Umar menjadi khalifah atas penunjukan langsung oleh khalifah Abu Bakar.
Khalifah Abu Bakar melakukan hal tersebut sudah barang tentu tidak dibuat-buat, tetapi justru dilandasi argumentasi dan pertimbangan khusus, antara lain: (1) Situasi politik di dalam negeri masih dianggap rawan, sebab banyk pembesar yang berambisi untuk menduduki jabatan khalifah; (2) Trauma psikologis Abu Bakar terhadap peristiwa di Saqifah Bani Saidah; (3) Negara dalam keadaan perang yang memiliki dua kubu militer, satu pihak menghadapi tentara Persia, dan di lain pihak berhadapan dengan pihak Romawi, sehingga dikhawatirkan bahwa kekuatan militer akan digunakan untuk mendukung interest politik.
Namun demikian, tidaklah Abu Bakar meninggalkan tradisi dari Nabi SAW untuk senantiasa bermusyawarah. Sebelum Abu Bakar memutuskan hal tersebut, terlebih dahulu dia bermusyawarah dengan tokoh-tokoh masyarakat, antara lain: Abdurrahman bin Auf, Usman bin Affan, Usaid bin Hudhair al Anshori, Said bin Zaid, dan lain-lain dari kaum Muhajirin dan Anshor. Ternyata mereka tidak keberatan untuk mencalonkan Umar.

[1] A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hlm. 105-106
[2] Ibid, hlm. 117-120.
[3] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media) hlm. 222-223.
[4] Ibid, hlm. 224.
[5] Ibid, hlm. 233.
[6] Ibid, hlm. 234-235.
[7] A. Syafi Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta, LP3ES, 1985), hlm. 50.
[8] Muhaimin, Abdul Mujib dan Jusuf  Mudzakir, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, (Jakarta: Prenada Media) hlm. 242.

HALAMAN

POPULAR POST