Menikah dengan pezina dan Apakah Anak Hasil Zina Dapat Warisan, hubungan Nasab?


Para ulama umumnya mengatakan bahwa bila pasangan yang berzina lalu hamil dan punya anak, namun kemudian mereka menikah secara sah, maka hubungan nasab antara anak dan ayahnya akan kembali tersambung. Anak itu sah sebagai anak dengan mendapatkan semua hak-haknya. Dan ayah itu sah sebagai ayah dengan semua hak dan kewajibannya. Misalnya, ayah tetap bisa menjadi wali bagi anak wanitanya, di dalam masalah pernikahannya. Demikian juga, anak berhak atas harta warisan dari ayahnya, bila ayahnya itu meninggal dunia. Sebab hubungan ayah-anak sah secara syar'i. Sebaliknya, bila pasangan itu tidak pernah melakukan pernikahan secara sah setelah perzinaan, para ulama mengatakan bahwa hubungan ayah dan anak menjadi tidak sah. Hubungan nasab antara mereka tidak tersambung kembali. Sehingga hal ini berpengaruh kepada hukum perwalian dan warisan. Ayah itu tidak berhak jadi wali bagi anaknya. Dan anak itu tidak berhak mendapatkan warisan dari ayahnya. Sebab secara hukum Islam, keduanya dipandang sebagai bukan ayah dan anak. Jadi seharusnya, dalam kasus seperti ini, pasangan zina itu dinikahkan saja secara resmi. Memang ada sementara kalangan yang mengharamkan laki-laki menikah dengan wanita yang berzina. Pendapat ini berlandaskan atas dalil berikut: Nabi SAW bersabda,"Janganlah disetubuhi (dikawini) seorang wanita hamil (karena zina) hingga melahirkan." (HR. Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Hakim). Pendapat ini benar apabila bukan laki-laki itu yang menzinainya. Adapun bila memang laki-laki itu yang menzinainya, tentu saja tidak ada larangan. Pembedaan ini dijelaskan di dalam hadits lainnya, yaitu: Nabi SAW bersabda, "Tidak halal bagi seorang muslim yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk menyiramkan airnya pada tanaman orang lain." (HR.Abu Daud dan Tirmizy). Yang dimaksud dengan menyirami dengan airnya pada tanaman orang lain adalah menyetubuhi wanita yang hamil oleh orang lain. Adapun bila wanita itu hamil karena dirinya sendiri, baik sebelum atau setelah pernikahan, tidak menghalanginya untuk menyetubuhinya. Adapun menyetubuhi sebelum pernikahan itu berdosa, memang benar. Akan tetapi tidak menjadi halangan bagi mereka untuk menikah setelah itu dan melakukan hubungan suami istri. Hal itulah yang difatwakan oleh kebanyakan ulama, antara lain berdasarkan hujjah berikut ini. 1. Abu Bakar As-Shiddiq ra. dan Umar bin Al-Khattab ra. serta para fuqaha umumnya, menyatakan bahwa seseorang menikahi wanita yang pernah dizinainya adalah boleh. Dan bahwa seseorang pernah berzina tidaklah mengharamkan dirinya dari menikah secara syah. 2. Adanya Hadits Nabawi yang membolehkan hal itu Dari Aisyah ra. berkata: Rasulullah SAW pernah ditanya tentang seseorang yang berzina dengan seorang wanita dan berniat untuk menikahinya, lalu beliau bersabda, "Awalnya perbuatan kotor dan akhirnya nikah. Sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan yang halal." (HR Tabarany dan Daruquthuny). 3. Hadits lainnya Seseorang bertanya kepada Rasulullah SAW, "Istriku ini seorang yang suka berzina." Beliau menjawab, "Ceraikan dia." "Tapi aku takut memberatkan diriku." "Kalau begitu mut`ahilah dia." (HR Abu Daud dan An-Nasa`i) 4. Pendapat Imam Abu Hanifah Imam Abu Hanifah menyebutkan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan. 5. Pendapat Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan laki-laki yang tidak menghamili tidak boleh mengawini wanita yang hamil. Kecuali setelah wanita hamil itu melahirkan dan telah habis masa 'iddahnya. Imam Ahmad menambahkan satu syarat lagi, yaitu wanita tersebut harus sudah tobat dari dosa zinanya. Jika belum bertobat dari dosa zina, maka dia masih boleh menikah dengan siapa pun. 6. Pendapat Imam Asy-Syafi'I Adapun Al-Imam Asy-syafi'i, pendapat beliau adalah bahwa baik laki-laki yang menghamili atau pun yang tidak menghamili, dibolehkan menikahinya. 7. Undang-undang Perkawinan RI Dalam Kompilasi Hukum Islam dengan instruksi presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, yang pelaksanaannya diatur sesuai dengan keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 telah disebutkan hal-hal berikut: • Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. • Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dpat dilangsungkan tanpa menunggu lebih duhulu kelahiran anaknya. • Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.

HALAMAN

POPULAR POST