Pengertian Qurban
Kata kurban atau korban,
berasal dari bahasa Arab qurban, diambil dari kata: qaruba (fi’il madhi) –
yaqrabu (fi’il mudhari’) – qurban wa qurbaanan (mashdar). Artinya, mendekati
atau menghampiri (Matdawam, 1984).
Menurut istilah, qurban adalah segala sesuatu yang digunakan untuk mendekatkan
diri kepada Allah baik berupa hewan sembelihan maupun yang lainnya (Ibrahim
Anis et.al, 1972).
Dalam bahasa Arab,
hewan kurban disebut juga dengan istilah udh-hiyah atau adh-dhahiyah, dengan
bentuk jamaknya al adhaahi. Kata ini diambil dari kata dhuha, yaitu waktu
matahari mulai tegak yang disyariatkan untuk melakukan penyembelihan kurban,
yakni kira-kira pukul 07.00 – 10.00 (Ash-Shan’ani, Subulus Salam IV/89).
Udh-hiyah adalah hewan
kurban (unta, sapi, dan kambing) yang disembelih pada hari raya Qurban dan
hari-hari tasyriq sebagai taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah (Sayyid
Sabiq, Fikih Sunnah XIII/155; Al-Jabari, 1994).
Hukum Qurban
Qurban hukumnya sunnah, tidak wajib. Imam Malik, Asy-Syafi’i, Abu Yusuf, Ishak
bin Rahawaih, Ibnul Mundzir, Ibnu Hazm dan lainnya berkata,”Qurban itu hukumnya
sunnah bagi orang yang mampu (kaya), bukan wajib, baik orang itu berada di
kampung halamannya (muqim), dalam perjalanan (musafir), maupun dalam
mengerjakan haji.” (Matdawam, 1984)
Sebagian mujtahidin
–seperti Abu Hanifah, Al-Laits, Al-Auza’i, dan sebagian pengikut Imam Malik—
mengatakan qurban hukumnya wajib. Tapi pendapat ini dhaif (lemah) (Matdawam,
1984).
Ukuran “mampu”
berqurban, hakikatnya sama dengan ukuran kemampuan shadaqah, yaitu mempunyai
kelebihan harta (uang) setelah terpenuhinya kebutuhan pokok (al hajat al
asasiyah) –yaitu sandang, pangan, dan papan– dan kebutuhan penyempurna (al
hajat al kamaliyah) yang lazim bagi seseorang. Jika seseorang masih membutuhkan
uang untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, maka dia terbebas dari
menjalankan sunnah qurban (Al-Jabari, 1994)
Dasar kesunnahan
qurban antara lain, firman Allah SWT:
“Maka dirikan
(kerjakan) shalat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah.” (Qs. Al-Kautsar [108]: 2).
“Aku diperintahkan
(diwajibkan) untuk menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah
sunnah.” [HR. At-Tirmidzi]
“Telah diwajibkan
atasku (Nabi SAW) qurban dan ia tidak wajib atas kalian.” [HR. Ad-Daruquthni].
Dua hadits di atas
merupakan qarinah (indikasi/petunjuk) bahwa qurban adalah sunnah. Firman Allah
SWT yang berbunyi “wanhar” (dan berqurbanlah kamu) dalam surat Al Kautas ayat 2
adalah tuntutan untuk melakukan qurban (thalabul fi’li). Sedang hadits At
Tirmidzi, “umirtu bi an nahri wa huwa sunnatun lakum” (aku diperintahkan untuk
menyembelih qurban, sedang qurban itu bagi kamu adalah sunnah), juga hadits Ad
Daruquthni “kutiba ‘alayya an nahru wa laysa biwaajibin ‘alaykum” (telah
diwajibkan atasku qurban dan ia tidak wajib atas kalian); merupakan qarinah
bahwa thalabul fi’li yang ada tidak bersifat jazim (keharusan), tetapi bersifat
ghairu jazim (bukan keharusan). Jadi, qurban itu sunnah, tidak wajib. Namun
benar, qurban adalah wajib atas Nabi SAW, dan itu adalah salah satu khususiyat
beliau (lihat Rifa’i et.al., Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, hal. 422).
Orang yang mampu
berqurban tapi tidak berqurban, hukumnya makruh. Sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa yang
mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berqurban, maka janganlah sekali-kali ia
menghampiri tempat shalat kami.” [HR. Ahmad, Ibnu Majah, dan Al-Hakim, dari Abu
Hurairah RA. Menurut Imam Al-Hakim, hadits ini shahih. Lihat Subulus Salam
IV/91].
Perkataan Nabi “fa laa
yaqrabanna musholaanaa” (janganlah sekali-kali ia menghampiri tempat shalat
kami) adalah suatu celaan (dzamm), yaitu tidak layaknya seseorang –yang tak
berqurban padahal mampu– untuk mendekati tempat sholat Idul Adh-ha. Namun ini
bukan celaan yang sangat/berat (dzamm syanii’) seperti halnya predikat fahisyah
(keji), atau min ‘amalisy syaithan (termasuk perbuatan syetan), atau miitatan
jaahiliyatan (mati jahiliyah) dan sebagainya. Lagi pula meninggalkan sholat
Idul Adh-ha tidaklah berdosa, sebab hukumnya sunnah, tidak wajib. Maka, celaan
tersebut mengandung hukum makruh, bukan haram (lihat ‘Atha` ibn Khalil, Taysir
Al Wushul Ila Al Ushul, hal. 24; Al Jabari, 1994).
Namun hukum qurban
dapat menjadi wajib, jika menjadi nadzar seseorang, sebab memenuhi nadzar
adalah wajib sesuai hadits Nabi SAW:
“Barangsiapa yang
bernadzar untuk ketaatan (bukan maksiat) kepada Allah, maka hendaklah ia
melaksanakannya.” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah XIII/157).
Qurban juga menjadi
wajib, jika seseorang (ketika membeli kambing, misalnya) berkata, “Ini milik
Allah” atau “Ini binatang qurban.” (Sayyid Sabiq, 1987; Al Jabari, 1994).
Keutamaan Qurban
Berqurban merupakan amal yang paling dicintai Allah SWT pada saat Idul Adh-ha.
Sabda Nabi SAW:
“Tidak ada suatu amal
anak Adam pada hari raya Qurban yang lebih dicintai Allah selain menyembelih
qurban.” [HR. At-Tirmidzi] (Abdurrahman, 1990).
Berdasarkan hadits itu
Imam Ahmad bin Hambal, Abuz Zanad, dan Ibnu Taimiyah berpendapat, “Menyembelih
hewan pada hari raya Qurban, aqiqah (setelah mendapat anak), dan hadyu (ketika
haji), lebih utama daripada shadaqah yang nilainya sama.” (Al-Jabari, 1994).
Tetesan darah hewan
qurban akan memintakan ampun bagi setiap dosa orang yang berqurban. Sabda Nabi
SAW:
“Hai Fathimah,
bangunlah dan saksikanlah qurbanmu. Karena setiap tetes darahnya akan memohon
ampunan dari setiap dosa yang telah kaulakukan…” (lihat Sayyid Sabiq, Fikih
Sunnah XIII/165).
Waktu dan Tempat Qurban
a.
Waktu
Qurban dilaksanakan setelah sholat Idul Adh-ha tanggal 10 Zulhijjah, hingga
akhir hari Tasyriq (sebelum maghrib), yaitu tanggal 13 Zulhijjah. Qurban tidak
sah bila disembelih sebelum sholat Idul Adh-ha. Sabda Nabi SAW:
“Barangsiapa
menyembelih qurban sebelum sholat Idul Adh-ha (10 Zulhijjah) maka sesungguhnya
ia menyembelih untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa menyembelih qurban
sesudah sholat Idul Adh-ha dan dua khutbahnya, maka sesungguhnya ia telah
menyempurnakan ibadahnya (berqurban) dan telah sesuai dengan sunnah (ketentuan)
Islam.” [HR. Bukhari].
Sabda Nabi SAW:
“Semua hari tasyriq
(tanggal 11, 12, dan 13 Zulhijjah) adalah waktu untuk menyembelih qurban.” [HR.
Ahmad dan Ibnu Hibban].
Menyembelih qurban
sebaiknya pada siang hari, bukan malam hari pada tanggal-tanggal yang telah
ditentukan itu. Menyembelih pada malam hari hukumnya sah, tetapi makruh.
Demikianlah pendapat para imam seperti Imam Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, Ahmad,
Abu Tsaur, dan jumhur ulama (Matdawam, 1984).
Perlu dipahami, bahwa
penentuan tanggal 10 Zulhijjah adalah berdasarkan ru`yat yang dilakukan oleh
Amir (penguasa) Makkah, sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Husain bin Harits
Al-Jadali RA (HR. Abu Dawud, Sunan Abu Dawud hadits no.1991). Jadi, penetapan
10 Zulhijjah tidak menurut hisab yang bersifat lokal (Indonesia saja misalnya),
tetapi mengikuti ketentuan dari Makkah. Patokannya, adalah waktu para jamaah
haji melakukan wukuf di Padang Arafah (9 Zulhijjah), maka keesokan harinya
berarti 10 Zulhijjah bagi kaum muslimin di seluruh dunia.
b.
Tempat
Diutamakan, tempat penyembelihan qurban adalah di dekat tempat sholat Idul
Adh-ha dimana kita sholat (misalnya lapangan atau masjid), sebab Rasulullah SAW
berbuat demikian (HR. Bukhari). Tetapi itu tidak wajib, karena Rasulullah juga
mengizinkan penyembelihan di rumah sendiri (HR. Muslim). Sahabat Abdullah bin
Umar RA menyembelih qurban di manhar, yaitu pejagalan atau rumah pemotongan
hewan (Abdurrahman, 1990).
Hewan Qurban
< Jenis>
Hewan yang boleh dijadikan qurban adalah: unta, sapi, dan kambing (atau domba).
Selain tiga hewan tersebut, misalnya ayam, itik, dan ikan, tidak boleh
dijadikan qurban (Sayyid Sabiq, 1987; Al-Jabari, 1994). Allah SWT berfirman:
“…supaya mereka
menyebut nama Allah terhadap hewan ternak (bahimatul an’am) yang telah
direzekikan Allah kepada mereka.” (Qs. Al-Hajj [22]: 34).
Dalam bahasa Arab,
kata bahimatul an’aam (binatang ternak) hanya mencakup unta, sapi, dan kambing,
bukan yang lain (Al-Jabari, 1994).
Prof. Mahmud Yunus
dalam kitabnya Al Fiqh Al Wadhih III/3 membolehkan berkurban dengan kerbau
(jamus), sebab disamakan dengan sapi.
b.
Jenis Kelamin
Dalam berqurban boleh menyembelih hewan jantan atau betina, tidak ada
perbedaan, sesuai hadits-hadits Nabi SAW yang bersifat umum mencakup kebolehan
berqurban dengan jenis jantan dan betina, dan tidak melarang salah satu jenis
kelamin (Sayyid Sabiq, 1987; Abdurrahman, 1990)
c.
Umur
Sesuai hadits-hadits Nabi SAW, dianggap mencukupi, berqurban dengan
kambing/domba berumur satu tahun masuk tahun kedua, sapi (atau kerbau) berumur
dua tahun masuk tahun ketiga, dan unta berumur lima tahun (Sayyid Sabiq, 1987;
Mahmud Yunus, 1936).
d.
Kondisi
Hewan yang dikurbankan haruslah mulus, sehat, dan bagus. Tidak boleh ada cacat
atau cedera pada tubuhnya. Sudah dimaklumi, qurban adalah taqarrub kepada
Allah. Maka usahakan hewannya berkualitas prima dan top, bukan kualitas sembarangan
(Rifa’i et.al, 1978)
Berdasarkan
hadits-hadits Nabi SAW, tidak dibenarkan berkurban dengan hewan:
1. yang nyata-nyata buta sebelah,
2. yang nyata-nyata menderita penyakit (dalam keadaan sakit),
3. yang nyata-nyata pincang jalannya,
4. yang nyata-nyata lemah kakinya serta kurus,
5. yang tidak ada sebagian tanduknya,
6. yang tidak ada sebagian kupingnya,
7. yang terpotong hidungnya,
8. yang pendek ekornya (karena terpotong/putus),
9. yang rabun matanya. (Abdurrahman, 1990; Al-Jabari, 1994; Sayyid Sabiq,
1987).
Hewan yang dikebiri
boleh dijadikan qurban. Sebab Rasulullah pernah berkurban dengan dua ekor
kibasy yang gemuk, bertanduk, dan telah dikebiri (al maujuu’ain) [HR. Ahmad dan
At-Tirmidzi] (Abdurrahman, 1990)
Qurban Sendiri dan
Patungan
Seekor kambing berlaku untuk satu orang. Tak ada qurban patungan (berserikat)
untuk satu ekor kambing. Sedangkan seekor unta atau sapi, boleh patungan untuk
tujuh orang (HR. Muslim). Lebih utama, satu orang berqurban satu ekor unta atau
sapi.
Jika murid-murid sebuah
sekolah, atau para anggota sebuah jamaah pengajian iuran uang lalu dibelikan
kambing, dapatkah dianggap telah berqurban? Menurut pemahaman kami, belum dapat
dikategorikan qurban, tapi hanya latihan qurban. Sembelihannya sah, jika
memenuhi syarat-syarat penyembelihan, namun tidak mendapat pahala qurban.
Wallahu a’lam. Lebih baik, pihak sekolah atau pimpinan pengajian mencari siapa
yang kaya dan mampu berqurban, lalu dari merekalah hewan qurban berasal, bukan
berasal dari iuran semua murid tanpa memandang kaya dan miskin. Islam sangat
adil, sebab orang yang tidak mampu memang tidak dipaksa untuk berqurban.
Perlu ditambahkan,
bahwa dalam satu keluarga (rumah), bagaimana pun besarnya keluarga itu,
dianjurkan ada seorang yang berkurban dengan seekor kambing. Itu sudah memadai
dan syiar Islam telah ditegakkan, meskipun yang mendapat pahala hanya satu
orang, yaitu yang berkurban itu sendiri. Hadits Nabi SAW:
“Dianjurkan bagi
setiap keluarga menyembelih qurban.” [HR. Ahmad, Abu Dawud, At-Tirmidzi,
An-Nasa`i, dan Ibnu Majah].
Teknis Penyembelihan
Teknis penyembelihan adalah sebagai berikut:
Hewan yang akan
dikurbankan dibaringkan ke sebelah rusuknya yang kiri dengan posisi mukanya
menghadap ke arah kiblat, diiringi dengan membaca doa “Robbanaa taqabbal minnaa
innaka antas samii’ul ‘aliim.” (Artinya: Ya Tuhan kami, terimalah kiranya
qurban kami ini, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.)
Penyembelih meletakkan kakinya yang sebelah di atas leher hewan, agar hewan itu
tidak menggerak-gerakkan kepalanya atau meronta.
Penyembelih melakukan
penyembelihan, sambil membaca : “Bismillaahi Allaahu akbar.” (Artinya: Dengan
nama Allah, Allah Maha Besar). (Dapat pula ditambah bacaan shalawat atas Nabi
SAW. Para penonton pun dapat turut memeriahkan dengan gema takbir “Allahu
akbar!”)
Kemudian penyembelih membaca doa kabul (doa supaya qurban diterima Allah)
yaitu: “Allahumma minka wa ilayka. Allahumma taqabbal min …” (sebut nama orang
yang berkurban). (Artinya : Ya Allah, ini adalah dari-Mu dan akan kembali kepada-Mu.
Ya Allah, terimalah dari….) (Ad-Dimasyqi, 1993; Matdawam, 1984; Rifa’i et.al.,
1978; Rasjid, 1990).
Penyembelihan, yang
afdhol dilakukan oleh yang berqurban itu sendiri, sekali pun dia seorang
perempuan. Namun boleh diwakilkan kepada orang lain, dan sunnah yang berqurban
menyaksikan penyembelihan itu (Matdawam, 1984; Al-Jabari, 1994).
Dalam penyembelihan,
wajib terdapat 4 (empat) rukun penyembelihan, yaitu :
Adz Dzaabih
(penyembelih), yaitu setiap muslim, meskipun anak-anak, tapi harus yang
mumayyiz (sekitar 7 tahun). Boleh memakan sembelihan Ahli Kitab (Yahudi dan
Nashrani), menurut mazhab Syafi’i. Menurut mazhab Hanafi, makruh, dan menurut
mazhab Maliki, tidak sempurna, tapi dagingnya halal. Jadi, sebaiknya
penyembelihnya muslim. (Al-Jabari, 1994).
Adz Dzabiih, yaitu hewan yang disembelih.Telah diterangkan sebelumnya.
Al Aalah, yaitu setiap alat yang dengan ketajamannya dapat digunakan
menyembelih hewan, seperti pisau besi, tembaga, dan lainnya. Tidak boleh
menyembelih dengan gigi, kuku, dan tulang hewan [HR. Bukhari dan Muslim].
Adz Dzabh, yaitu penyembelihannya itu sendiri. Penyembelihan wajib memutuskan
hulqum (saluran nafas) dan mari` (saluran makanan). (Mahmud Yunus, 1936)
Pemanfaatan Daging
Qurban
Sesudah hewan disembelih, sebaiknya penanganan hewan qurban (pengulitan dan
pemotongan) baru dilakukan setelah hewan diyakini telah mati. Hukumnya makruh
menguliti hewan sebelum nafasnya habis dan aliran darahnya berhenti (Al-Jabari,
1994). Dari segi fakta, hewan yang sudah disembelih tapi belum mati, otot-ototnya
sedang berkontraksi karena stress. Jika dalam kondisi demikian dilakukan
pengulitan dan pemotongan, dagingnya akan alot alias tidak empuk. Sedang hewan
yang sudah mati otot-ototnya akan mengalami relaksasi sehingga dagingnya akan
empuk.
Setelah penanganan
hewan qurban selesai, bagaimana pemanfaatan daging hewan qurban tersebut?
Ketentuannya, disunnahkan bagi orang yang berqurban, untuk memakan daging
qurban, dan menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, dan menghadiahkan kepada
karib kerabat. Nabi SAW bersabda:
“Makanlah daging
qurban itu, dan berikanlah kepada fakir-miskin, dan simpanlah.” [HR. Ibnu Majah
dan At-Tirmidzi, hadits shahih].
Berdasarkan hadits
itu, pemanfaatan daging qurban dilakukan menjadi tiga bagian/cara, yaitu:
makanlah, berikanlah kepada fakir miskin, dan simpanlah. Namun pembagian ini
sifatnya tidak wajib, tapi mubah (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid I/352;
Al-Jabari, 1994; Sayyid Sabiq, 1987).
Orang yang berqurban,
disunnahkan turut memakan daging qurbannya sesuai hadits di atas. Boleh pula
mengambil seluruhnya untuk dirinya sendiri. Jika diberikan semua kepada
fakir-miskin, menurut Imam Al Ghazali, lebih baik. Dianjurkan pula untuk
menyimpan untuk diri sendiri, atau untuk keluarga, tetangga, dan teman karib
(Al-Jabari, 1994; Rifa’i et.al, 1978).
Akan tetapi jika
daging qurban sebagai nadzar, maka wajib diberikan semua kepada fakir-miskin
dan yang berqurban diharamkan memakannya, atau menjualnya (Ad-Dimasyqi, 1993;
Matdawam, 1984) .
Pembagian daging
qurban kepada fakir dan miskin, boleh dilakukan hingga di luar desa/tempat dari
tempat penyembelihan (Al Jabari, 1994).
Bolehkah memberikan
daging qurban kepada non-muslim? Ibnu Qudamah (mazhab Hambali) dan yang lainnya
(Al-Hasan dan Abu Tsaur, dan segolongan ulama Hanafiyah) mengatakan boleh.
Namun menurut Imam Malik dan Al Laits, lebih utama diberikan kepada muslim
(Al-Jabari, 1994).
Penyembelih (jagal),
tidak boleh diberi upah dari qurban. Kalau mau memberi upah, hendaklah berasal
dari orang yang berqurban dan bukan dari qurban (Abdurrahman, 1990). Hal itu
sesuai hadits Nabi SAW dari sahabat Ali bin Abi Thalib RA:
“…(Rasulullah
memerintahkan kepadaku) untuk tidak memberikan kepada penyembelih sesuatu
daripadanya (hewan qurban).” [HR. Bukhari dan Muslim] (Al-Jabari, 1994).
Tapi jika jagal
termasuk orang fakir atau miskin, dia berhak diberi daging qurban. Namun
pemberian ini bukan upah karena dia jagal, melainkan sedekah karena dia miskin
atau fakir (Al-Jabari, 19984).
Menjual kulit hewan
adalah haram, demikianlah pendapat jumhur ulama (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid
I/352). Dalilnya sabda Nabi SAW:
“Dan janganlah kalian
menjual daging hadyu (qurban orang haji) dan daging qurban. Makanlah dan
sedekahkanlah dagingnya itu, ambillah manfaat kulitnya, dan jangan kamu
menjualnya…” [HR. Ahmad)] (Matdawam, 1984).
Sebagian ulama seperti
segolongan penganut mazhab Hanafi, Al-Hasan, dan Al-Auza’i membolehkannya. Tapi
pendapat yang lebih kuat, dan berhati-hati (ihtiyath), adalah janganlah orang
yang berqurban menjual kulit hewan qurban. Imam Ahmad bin Hambal sampai
berkata, “Subhanallah! Bagaimana harus menjual kulit hewan qurban, padahal ia
telah dijadikan sebagai milik Allah?” (Al-Jabari, 1994).
Kulit hewan dapat
dihibahkan atau disedekahkan kepada orang fakir dan miskin. Jika kemudian orang
fakir dan miskin itu menjualnya, hukumnya boleh. Sebab –menurut pemahaman kami–
larangan menjual kulit hewan qurban tertuju kepada orang yang berqurban saja,
tidak mencakup orang fakir atau miskin yang diberi sedekah kulit hewan oleh
orang yang berqurban. Dapat juga kulit hewan itu dimanfaatkan untuk
kemaslahatan bersama, misalnya dibuat alas duduk dan sajadah di masjid,
kaligrafi Islami, dan sebagainya.
Penutup
Kami ingin menutup risalah sederhana ini, dengan sebuah amanah penting:
hendaklah orang yang berqurban melaksanakan qurban karena Allah semata. Jadi
niatnya haruslah ikhlas lillahi ta’ala, yang lahir dari ketaqwaan yang mendalam
dalam dada kita. Bukan berqurban karena riya` agar dipuji-puji sebagai orang
kaya, orang dermawan, atau politisi yang peduli rakyat, dan sebagainya.
Sesungguhnya yang sampai kepada Allah SWT adalah taqwa kita, bukan daging dan
darah qurban kita. Allah SWT berfirman:
“Daging-daging unta
dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi
ketaqwaan daripada kamulah yang mencapainya.” (Qs. Al-Hajj [22]: 37). [ M.
Shiddiq al-Jawi ]
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman. 1990. Hukum Qurban, ‘Aqiqah, dan Sembelihan. Cetakan
Pertama. Bandung : Sinar Baru. 52 hal.
Ad-Dimasyqi, Muhammad bin
Abdurrahman Asy-Syafi’i. 1993. Rohmatul Ummah (Rahmatul Ummah Fi Ikhtilafil
A`immah). Terjemahan oleh Sarmin Syukur dan Luluk Rodliyah. Cetakan Pertama.
Surabaya : Al Ikhlas. 554 hal.
Al-Jabari, Abdul Muta’al.
1994. Cara Berkurban (Al Udh-hiyah Ahkamuha wa Falsafatuha At Tarbawiyah).
Terjemahan oleh Ainul Haris. Cetakan Pertama. Jakarta: Gema Insani Press. 83
hal.
Anis, Ibrahim et.al. 1972.
Al Mu’jam Al Wasith. Kairo: Tanpa Penerbit. 547 hal.
Ash Shan’ani. Tanpa Tahun.
Subulus Salam. Juz IV. Bandung: Maktabah Dahlan.
Ibnu Khalil, ‘Atha`. 2000.
Taysir Al Wushul Ila Al Ushul. Cetakan Ketiga. Beirut: Darul Ummah. 310 hal.
Ibnu Rusyd. 1995. Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid. Beirut: Daarul Fikr. 404 hal.
Matdawam, M. Noor. 1984.
Pelaksanaan Qurban dalam Hukum Islam. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Yayasan Bina
Karier. 41 hal.
Rasjid, H.Sulaiman. 1990.
Fiqh Islam. Cetakan Keduapuluhtiga. Bandung: Sinar Baru. 468 hal.
Rifa’i, Moh. et.al. 1978.
Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar. Semarang: Toha Putra 468 hal.
Sabiq, Sayyid. 1987. Fikih
Sunnah (Fiqhus Sunnah). Jilid 13. Cetakan Kedelapan. Terjemahan oleh Kamaluddin
A. Marzuki. Bandung: Al Ma’arif. 229 hal
Yunus,
Mahmud. 1936. Al Fiqh Al Wadhih. Juz III. Jakarta: Maktabah Sa’adiyah Putera.
48 hal.