|  
Bagaimana
  Cara Bertayammum Dalam Keadaan Sakit atau di Saat Berpergian (Safar)? 
 Syariat tayammum berdasarkan firman Allah
  SWT dalam Al-Qur’an : 
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى
  سَفَرٍ أَوْ جآءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسآءَ
  فَلَمْ تَجِدُوا مآءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا
  بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ
  عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ
  نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ 
“Apabila kalian sakit atau sedang dalam bepergian (safar)
  atau salah seorang dari kalian datang dari tempat buang air besar (selesai
  buang hajat) atau kalian menyentuh wanita (jima’) sedangkan kalian tidak
  mendapatkan air, maka bertayammumlah dengan tanah/ debu yang baik (suci),
  (dengan cara) usapkanlah debu itu ke wajah dan tangan kalian. Allah tidak
  menginginkan untuk menjadikan keberatan atas kalian di dalam menjalankan
  syariat Agama ini, akan tetapi Allah ingin mensucikan kalian dan
  menyempurnakan nikmat-Nya atas kalian. Semoga dengan begitu kalian mau
  bersyukur.” (Al-Maidah: 6) 
Tayammum
  Khusus bagi Umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam 
Syariat
  tayammum merupakan kekhususan bagi umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa
  sallam, di mana syariat ini tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya
  sebagaimana dinyatakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda
  beliau: 
أُعْطِيْتُ خَمْسًا لَمْ
  يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي مِنَ اْلأَنْبِيَاءِ: نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ
  مَسِيْرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِيَ اْلأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا 
“Diberikan kepadaku lima perkara yang tidak diberikan
  kepada seorang nabi pun sebelumku; (pertama) aku ditolong dengan
  ditanamkannya rasa takut pada musuh-musuhku terhadapku walaupun jarak (aku
  dan mereka) masih sebulan perjalanan, (kedua) bumi dijadikan untukku sebagai
  masjid (tempat mengerjakan shalat), dan sebagai sarana bersuci….” (HR. Al-Bukhari no. 335, 438 dan Muslim no. 521) 
Al-Imam
  An-Nawawi rahimahullahu menerangkan bahwasanya tayammum merupakan rukhshah
  (keringanan) dan keutamaan yang Allah ‘Azza wa Jalla berikan secara khusus
  kepada umat ini yang tidak diberikan kepada umat-umat sebelumnya. (Al-Majmu’
  2/239) 
Pengertian Tayammum 
Tayammum
  secara bahasa diinginkan dengan makna “bermaksud” dan “bersengaja”. Sedangkan
  makna tayammum apabila ditinjau menurut syariat adalah “bersengaja
  menggunakan tanah/ debu untuk mengusap wajah dan dua telapak tangan disertai
  niat”, sehingga dengan perbuatan/amalan ini pelakunya diperkenankan
  mengerjakan shalat dan ibadah yang semisalnya. (Fathul Bari, 1/539) 
Tata Cara Tayammum 
‘Ammar
  bin Yasir radhiallahu ‘anhuma berkata: 
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  mengutusku untuk suatu kepentingan. Lalu di tengah perjalanan aku junub
  sedangkan aku tidak mendapatkan air untuk bersuci. Maka aku pun
  berguling-guling di tanah sebagaimana hewan berguling-guling. Kemudian aku
  mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kuceritakan hal tersebut
  kepada beliau, beliau pun bersabda: 
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ
  تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ
  مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ
  ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ 
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu
  dengan melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau
  pada tanah dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap
  punggung telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung
  tangan kirinya dengan telapak tangannya1, kemudian beliau mengusap wajahnya
  dengan kedua tangannya.”
  (HR. Al-Bukhari no. 347 dan Muslim no. 368) 
Dalam
  riwayat lain, disebutkan bahwa setelah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
  sallam memukulkan kedua telapak tangan beliau ke bumi: 
وَ نَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ
  بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ 
“Beliau meniupnya, kemudian dengan keduanya beliau mengusap
  wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368) 
Dari
  hadits Ammar radhiallahu ‘anhuma di atas dapat kita simpulkan bahwa tata cara
  tayammum itu adalah:  
1.Memukulkan
  dua telapak tangan ke tanah/ debu dengan sekali pukulan 
2.
  Meniup atau mengibaskan tanah/debu yang menempel pada dua telapak tangan
  tersebut 
3.
  Mengusap wajah terlebih dahulu, lalu mengusap kedua telapak tangan, bagian
  dalam maupun luarnya. Ataupun mengusap telapak tangan dahulu baru setelahnya
  mengusap wajah. 
Berniat 
Setiap
  perbuatan baik (yang mubah) dapat bernilai ibadah apabila disertai niat,
  demikian pula setiap amalan yang disyariatkan dalam agama ini tentunya harus
  disertai niat karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ 
“Hanyalah amalan-amalan itu
  tergantung dengan niatnya.” (HR.
  Al-Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907) 
Dan niat tempatnya di dalam hati tidak dilafadzkan. 
Dalam
  masalah tayammum, niat merupakan syarat, hal ini merupakan pendapat jumhur
  ulama. (Bidayatul Mujtahid, hal. 60) 
Al-Imam
  An-Nawawi rahimahullahu berkata: 
“Niat dalam tayammum adalah wajib
  menurut kami tanpa adanya perselisihan.”
  (Al Majmu’, 2/254) 
Al-Imam
  Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata: 
“Tidak diketahui adanya
  perselisihan pendapat di kalangan ahlul ilmi tentang tidak sahnya tayammum
  kecuali dengan niat. Seluruh ahli ilmu berpendapat wajibnya niat dalam
  tayammum terkecuali apa yang diriwayatkan dari Al-Auza’i2 dan Al-Hasan bin
  Shalih yang keduanya berpendapat bahwa tayammum itu sah adanya tanpa niat.” (Al-Mughni, 1/158) 
Memukulkan Dua Telapak Tangan ke Tanah/Debu dengan Sekali
  Pukulan 
Ulama
  berbeda pendapat dalam masalah cukup tidaknya bertayammum dengan sekali
  pukulan ke permukaan bumi. 
Di
  antara mereka ada yang berpendapat cukup sekali, tidak lebih, sebagaimana
  disebutkan dalam hadits ‘Ammar di atas. Demikian pendapat Al-Imam Ahmad,
  ‘Atha`, Makhul, Al-Auza’i, Ishaq, Ibnul Mundzir dan mayoritas ahlul hadits.
  Demikian juga pendapat ini adalah pendapat jumhur ahli ‘ilmi. (Tharhut
  Tatsrib 1/269-270, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-2).
  Dan ini merupakan pendapat yang rajih menurut penulis, wallahu a’lam. 
Hal
  ini menyelisihi pendapat yang mengatakan dua kali pukulan ke tanah seperti
  pendapat kebanyakan fuqaha dengan bersandar hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu
  ‘anhuma dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
التَّيَمُمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ
  لِلْوَجْهِ وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ 
“Tayammum itu dua kali pukulan, sekali untuk wajah dan
  sekali untuk kedua tangan sampai siku.”
  (HR. Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 1/180,181, 183) 
Namun
  para imam menghukumi hadits
  ini mauquf terhadap Ibnu ‘Umar radhiallahu
  ‘anhuma. Demikian pernyataan Ibnul Qaththan, Husyaim, Ad-Daraquthni, dan yang
  lainnya. Juga dalam sanad hadits ini ada ‘Ali bin Dhabyan, seorang perawi yang lemah, dilemahkan oleh Ibnul Qaththan, Ibnu Ma’in, dan
  selainnya (At-Talkhis 1/237, Adhwa` ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6,
  masalah ke-3). Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata tentangnya dalam At-Taqrib (hal.
  341): “Dha’if.” 
Al-Hafidz
  Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: 
“Hadits-hadits menyebutkan tentang
  sifat/ tata cara tayammum tidak ada yang shahih kecuali hadits Abul Juhaim
  ibnul Harits Al-Anshari3 dan hadits ‘Ammar. Adapun selain keduanya maka
  haditsnya dha’if atau diperselisihkan marfu’ dan mauqufnya, namun yang rajih
  tidak ada yang marfu’.” (Fathul
  Bari, 1/554). Beliau memaparkan keterangan tentang dhaif dan mauqufnya
  jalan-jalan sanad hadits dalam At-Talkhis 1/236-240 no.206-208. 
Al-Imam
  Ash-Shan‘ani rahimahullahu berkata: 
“Ada beberapa riwayat yang semakna
  dengan hadits ini namun semuanya tidak shahih. Riwayat yang ada hanya mauquf
  atau dha’if (lemah).” (Subulus
  Salam, 1/149) 
Dalam
  hadits Abul Juhaim dan hadits ‘Ammar tidak ada keterangan yang menunjukkan
  bahwa tayammum itu dengan dua kali pukulan ke bumi. Bahkan dalam hadits
  ‘Ammar ditunjukkan bahwa pukulan ke bumi itu hanya sekali. (Adhwaul Bayan,
  tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-2) 
Selain
  itu, ada pula yang berpendapat tayammum dilakukan dengan tiga kali pukulan
  seperti pendapat Ibnul Musayyab, Az-Zuhri dan Ibnu Sirin, dengan perincian:
  sekali untuk wajah, sekali untuk kedua telapak tangan dan sekali untuk kedua
  lengan. Namun sebagaimana penjelasan di atas, pendapat seperti ini marjuh
  (lemah). Kata Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullahu: “Aku tidak mendapatkan
  dalil dari pendapat ini.” (Nailul Authar, 1/368) 
Meniup atau Mengibaskan Debu dari Dua Telapak Tangan 
Dibolehkan
  meniup tanah atau debu yang menempel pada dua telapak tangan yang telah
  dipukulkan ke permukaan bumi atau mengibaskannya bila memang diperlukan,
  berdasarkan hadits dalam Ash-Shahihain yang telah lewat penyebutannya. 
Al-Imam
  An-Nawawi rahimahullahu menyatakan yang dimaukan dengan mengibaskannya di
  sini adalah meringankan debu yang banyak menempel pada telapak tangan. Juga
  hal ini disenangi pengamalannya sehingga nantinya hanya tersisa debu yang
  sekedarnya untuk diusapkan merata ke anggota tubuh (tangan dan wajah, pent).
  (Syarah Shahih Muslim, 4/62) 
Al-Hafidz
  Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu setelah membawakan hadits tentang
  meniup ini, beliau berkata: 
“(Dari hadits yang menyebutkan) Nabi Shallallahu ‘alaihi
  wa sallam meniup tanah/debu sebelum diusapkan ke anggota tayammum, diambil
  dalil tentang sunnahnya meringankan tanah/debu (yang akan diusapkan ke wajah
  dan tangan).” (Fathul Bari, 1/554) 
Kata
  Ibnu Qudamah rahimahullahu: 
“Apabila pada kedua tangan
  seseorang yang sedang tayammum itu tanah/debu yang banyak menempel maka tidak
  masalah baginya untuk meniup tanah/debu tersebut karena dalam hadits ‘Ammar
  radhiallahu ‘anhuma disebutkan bahwa setelah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
  sallam memukulkan kedua telapak tangannya ke bumi, beliau meniupnya. Al-Imam
  Ahmad rahimahullahu menyatakan: “Tidak masalah baginya melakukan hal tersebut
  ataupun tidak.” (Al-Mughni, 1/155) 
Mengusap Wajah Terlebih Dahulu Kemudian Mengusap Dua
  Telapak Tangan 
Al-Imam
  Asy-Syafi’i rahimahullahu dan pengikut-pengikut beliau berpandangan
  mendahulukan mengusap wajah daripada tangan adalah rukun dari rukun-rukun
  tayammum. (Adhwaul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4). 
Al-’Allamah
  Asy-Syinqithi rahimahullahu berkata: 
“Al-Imam
  An-Nawawi rahimahullahu menghikayatkan kesepakatan pengikut madzhab
  Asy-Syafi’iyyah dalam masalah ini. Sekelompok ulama yang lain di antaranya
  Al-Imam Malik rahimahullahu dan mayoritas pengikut beliau berpandangan
  mendahulukan wajah daripada kedua tangan hukumnya sunnah.” 
Sementara
  Al-Imam Ahmad rahimahullahu dan yang sependapat dengannya berpandangan
  mengusap tangan didahulukan (daripada mengusap wajah). (Adhwaul Bayan, tafsir
  Surat Al-Maidah, ayat 6, masalah ke-4) 
Al-Hafidz
  Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata: 
“Mayoritas ulama mendahulukan
  mengusap wajah sebelum tangan, tapi mereka berselisih apakah hal itu wajib
  atau sunnah saja hukumnya.” (Fathul
  Bari, 1/440) 
Namun
  yang kuat dalam permasalahan ini dalam pandangan penulis, wallahu a’lam,
  sunnahnya dan lebih utamanya mendahulukan wajah daripada pengusapan tangan,
  karena adanya dua alasan berikut ini: 
Pertama:
  Riwayat mendahulukan wajah atas kedua tangan lebih kuat dari riwayat yang
  sebaliknya (mendahulukan tangan). Sampai-sampai Al-Imam Ahmad rahimahullahu
  berkata bahwa riwayat Abu Mu’awiyah dari Al-A’masy tentang mendahulukan
  tangan adalah salah (Fathul Bari, karya Ibnu Rajab Al-Hambali, 2/90). 
Kedua:
  Mendahulukan wajah merupakan dzahir Al Qur`an karena Allah ‘Azza wa Jalla
  berfirman: 
فَامْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَأَيْدِيْكُمْ 
“Maka usaplah wajah-wajah dan
  tangan-tangan kalian.”
  (Al-Maidah: 6) 
Dalam
  ayat di atas, Allah ‘Azza wa Jalla mendahulukan wajah dari tangan sementara
  kita tahu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda: 
أَبْدَأُ بِمَا بَدَأ َاللهُ بِهِ 
“Aku memulai dengan apa yang Allah
  mulai.” (HR. Muslim no. 1218) 
Dalam
  riwayat An-Nasa`i disebutkan dengan lafadz perintah: 
ابْدَؤُوا بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ 
“Mulailah kalian dengan apa yang Allah mulai.” (HR. An-Nasa`i no. 2913) 
Ketika
  Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan hadits di atas beliau
  kemudian membaca ayat Allah: 
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ
  شَعَائِرِ اللهِ 
“Sesungguhnya Shafa dan Marwah termasuk syiar-syiar Allah.” (Al-Baqarah: 158) 
Dalam
  ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla memulai penyebutan Shafa sebelum Marwah
  sehingga dalam ibadah sa’i (dalam amalan haji) pelaksanaannya dimulai dari
  Shafa terlebih dahulu lalu menuju ke Marwah. Hal ini dilakukan dalam rangka
  mengamalkan hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas. 
Al-Hafidz
  Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu berkata setelah menyebutkan hadits
  ‘Ammar radhiallahu ‘anhuma dalam riwayat Al-Bukhari no. 3474: “Dalam hadits ini menunjukkan tidak
  disyaratkannya berurutan dalam tayammum.”
  (Fathul Bari, 1/569) 
Dengan
  adanya dua riwayat yang menyatakan pengusapan wajah terlebih dahulu baru
  tangan5 -dan ini sesuai dengan penyebutan ayat tayammum- dengan penyebutan
  tangan terlebih dahulu baru wajah yang keduanya berada dalam Ash-Shahihain,
  maka dengan demikian menunjukkan bolehnya mendahulukan wajah dan boleh pula
  mendahulukan telapak tangan (Al-Muhalla, 1/379). Namun yang sunnah dan utama
  mendahulukan pengusapan wajah dengan alasan yang telah disebutkan, wallahu
  a’lam. 
Batasan Tangan yang Harus Diusap 
Dalam
  hal ini ulama berselisih pendapat. Namun pendapat yang rajih menurut penulis
  adalah yang diusap hanya dua telapak tangan (luar maupun dalam), sebagaimana
  pendapat Al-Imam Ahmad, Ishaq, Ibnul Mundzir, Ibnu Khuzaimah dan dinukilkan
  pula pendapat ini dari Malik. Al-Imam Al-Khaththabi menukilkan pendapat
  demikian dari ashhabul hadits dan Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat seperti ini
  dalam Al-Qadim (pendapat yang lama). Al-Imam At-Tirmidzi menukilkan pendapat
  ini dari sekumpulan shahabat di antaranya ‘Ali bin Abi Thalib, ‘Ammar bin
  Yasir dan Ibnu ‘Abbas serta sekumpulan tabi’in seperti Asy-Sya’bi, ‘Atha` dan
  Makhul. (Sunan At-Tirmidzi, 1/97) 
Adapun
  pendapat yang mengatakan bahwa batasan tangan yang diusap harus sampai ke
  siku6. Mereka berdalil antara lain dengan hadits Ibnu ‘Umar yang diriwayatkan
  oleh Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi7, dan pembicaraan tentang hukum hadits ini
  sudah kita singgung pada permasalahan memukulkan dua telapak tangan ke
  permukaan bumi dengan sekali pukulan di mana haditsnya dha’if atau mauquf. 
Ibnul
  Qayyim rahimahullahu berkata: 
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  bertayammum dengan satu kali pukulan untuk wajah dan kedua telapak tangan,
  dan tidak ada hadits yang shahih dari beliau bahwasanya beliau tayammum
  dengan dua kali pukulan dan tidak pula mengusap tangan sampai ke siku.
  Al-Imam Ahmad rahimahullahu menyatakan: ‘Siapa yang berpendapat tayammum itu
  sampai ke siku maka hal itu adalah sesuatu yang dia tambahkan sendiri dari
  dirinya’.” (Zadul Ma’ad, 1/50) 
Ada
  pula yang berpendapat pengusapan dilakukan sampai ke pundak dan ketiak sebagaimana
  diriwayatkan hal ini dari Az-Zuhri dan Muhammad bin Maslamah. Namun dalil
  yang mereka jadikan sandaran goncang sekali (mudhtharib) seperti keterangan
  Abu Dawud dalam Sunan-nya (setelah membawakan hadits no. 273). 
Ibnu
  Hazm membicarakan hadits ini di dalam Al-Muhalla (1/373-374), kemudian beliau
  berkata: 
“Yang wajib bagi kita adalah
  kembali kepada Al Qur`an dan As Sunnah, sebagaimana Allah perintahkan kepada
  kita untuk kembali kepada keduanya ketika terjadi perselisihan. Sehingga
  kalau kita mau melakukannya kita akan mendapatkan Allah ‘Azza wa Jalla
  berfirman: “Maka bertayammumlah dengan debu yang baik (suci), (dengan cara)
  usapkanlah dari debu itu wajah-wajah dan tangan-tangan kalian.” Dalam ayat ini Allah ‘Azza wa Jalla tidak memberikan
  batasan kecuali sekadar menyatakan (mengusap) tangan. Demikian juga kita
  yakin apabila Allah ‘Azza wa Jalla menginginkan pengusapan itu sampai ke
  siku, kepala dan kedua kaki, niscaya Allah akan menerangkannya dan
  menyebutkannya sebagaimana Allah lakukan hal ini ketika menyebutkan tentang
  wudhu. Bila Allah menginginkan pengusapan tayammum itu mencakup seluruh
  tubuh, niscaya Allah akan menerangkannya sebagaimana hal ini dilakukan-Nya
  ketika menyebut tentang mandi. Apabila Allah ‘Azza wa Jalla tidak menyebutkan
  dalam ayatnya kecuali hanya wajah dan kedua tangan maka tidak boleh seorang
  pun menambah dari apa yang telah Allah ‘Azza wa Jalla sebutkan, baik itu
  kedua siku, kepala ataupun kedua kaki dan seluruh tubuh. Sehingga tidak wajib dalam
  tayammum kecuali hanya mengusap wajah dan kedua tangan.” 
Al-Hafidz
  Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu dalam Fathul Bari (2/56) berkata: 
“Hadits ini sangat mungkar dan
  terus menerus ahlul ilmi mengingkarinya.” 
Guru
  kami Al-Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil Al-Wadi’i rahimahullahu juga mendha’ifkannya. 
Al-Imam
  Az-Zuhri rahimahullahu sendiri mengingkari hadits yang diriwayatkannya ini,
  seperti dikatakan Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullahu: “Hadits ini telah diingkari oleh
  Az-Zuhri (sebagai salah seorang perawi hadits tersebut), ia berkata: ‘Hadits
  ini tidak dianggap oleh manusia’. Dan setelah itu Az-Zuhri menahan diri untuk
  menyampaikan hadits ini, beliaupun berkata: “Hadits ini tidak boleh
  diamalkan.” (Fathul Bari, Al-Hafidz Ibnu
  Rajab Al-Hambali, 2/57) 
Al-Imam
  Asy-Syafi’i rahimahullahu dan selainnya mengatakan: 
“Apabila riwayat tentang tata cara
  tayammum yang demikian (mengusap tangan sampai ketiak) datang dengan perintah
  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka riwayat tersebut terhapus dengan tata
  cara tayammum yang shahih yang datang belakangan dari Nabi Shallallahu
  ‘alaihi wa sallam. Dan jika riwayat itu datang bukan dengan perintah Nabi
  Shallallahu ‘alaihi wa sallam maka yang jadi hujjah adalah apa yang beliau
  perintahkan. Juga yang menguatkan riwayat
  Ash-Shahihain tentang pembatasan pengusapan hanya pada wajah dan dua telapak
  tangan adalah keberadaan ‘Ammar bin Yasir radhiallahu ‘anhuma (shahabat yang
  meriwayatkan hadits tentang tata cara tayammum, pen.) memfatwakan hal
  tersebut setelah meninggalnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan tentunya
  perawi hadits lebih mengetahui apa yang dimaukan dengan hadits itu daripada
  selainnya, terlebih lagi beliau adalah seorang mujtahid.” (Fathul Bari 1/55,
  Subulus Salam 1/150, Adhwa`ul Bayan, tafsir Surat Al-Maidah ayat 6, masalah
  ke-3) 
Perselisihan tentang Pengusapan Wajah 
Al-Imam
  Malik, Al-Imam Asy-Syafi’i, Al-Imam Ahmad dan jumhur ulama berpendapat wajib
  mengusap seluruh wajah dengan debu dan mengusap rambut bagian luar yang ada
  di atas wajah, sama saja baik rambut itu wajib terkena air sampai ke bawahnya
  seperti rambut yang tipis yang menampakkan kulit ataupun tidak. 
Sedangkan
  pendapat kalangan ahlul ilmi yang lain tidak harus mengusap secara
  keseluruhan. Pendapat demikian adalah pendapat Sulaiman bin Dawud, Yahya bin
  Yahya An-Naisaburi dan Al-Jauzajani. Hal ini karena mereka berpandangan
  mengusap wajah dalam tayammum sama dengan mengusap kepala dalam wudhu, di
  mana mengusap sebagian kepala sudah mencukupi dalam wudhu. (Fathul Bari,
  Al-Hafidz Ibnu Rajab, 2/50, Al-Muhalla, 1/368) 
Asy-Syaikh
  Ibnu Utsaimin rahimahullahu berkata: 
“Thaharah tayammum ditetapkan oleh
  Allah ‘Azza wa Jalla untuk memberikan keringanan dan kemudahan kepada
  hamba-hamba-Nya. Hal ini tentunya berbeda dengan thaharah ketika menggunakan
  air. Maka dalam tayammum tidak wajib menyampaikan debu ke seluruh wajah dan
  kedua tangan menurut pendapat yang rajih. Bahkan dimaafkan bila ada bagian
  yang tidak sampai pengusapan padanya dikarenakan harus menempuh kesulitan
  untuk mengusapnya seperti pangkal rambut. Tidak wajib menyampaikan debu ke pangkalnya
  walaupun rambut itu tipis. Dengan demikian yang diusap hanyalah yang dzahir
  (bagian luar permukaan wajah saja, pent.). Adapun dalam wudhu, bila rambut
  itu tipis maka wajib menyampaikan air ke pangkal rambut tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’, 1/349) 
Dan
  penulis dalam permasalahan ini lebih condong kepada apa yang dikatakan oleh
  Asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullahu, karena dzahir nash yang datang dari
  Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupi bagi kita kecuali bila ada dalil
  yang memalingkannya dari dzahirnya. Sehingga dalam tata cara tayammum cukup
  seseorang itu mengusapkan ke wajahnya, tanpa harus menyela-nyela jenggotnya
  dan mengusapkan ke tangannya tanpa harus menyela-nyela jari-jemarinya. 
Wallahu
  ta’ala a’lam bish shawab. 
1
  Ibnu Hajar rahimahullahu berkata: “Demikian seluruh riwayat menyebut dengan
  keraguan. Tapi dalam riwayat Abu Dawud ada pelurusan melalui jalan Mu’awiyah
  juga dan lafadznya: Lalu menepuk tangan kanan dengan tangan kirinya dan
  tangan kiri dengan tangan kanannya pada (bagian) dua telapaknya, lalu
  mengusap wajahnya. (Fathul Bari 1/456 dan Shahih Sunan Abu Dawud no. 321)(ed) 
2
  Tharhut Tatsrib, Al-Imam Al-’Iraqi, 1/268 
3
  Abul Juhaim radhiallahu ‘anhu berkata: 
أَقْبَلَ النَّبِيّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ
  نَحْوِ بِئْرِ جَمَلٍ فَلَقِيَهُ رَجُلٌ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ
  عَلَيْهِ النَّبِيُّ صلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم حَتَّى أَقْبَلَ عَلَى
  الْجِدَارِ فَمَسَحَ بِوَجْهِهِ وَيَدَيْهِ، ثُمَّ رَدَّ عَلَيْهِ السَّلامَ 
“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  datang dari arah sumur Jamal ketika seorang lelaki berpapasan dengan beliau.
  Lelaki itu pun mengucapkan salam namun Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
  tidak membalasnya sampai beliau menghadap ke tembok (memukulkan tangannya ke
  tembok, pen.) lalu mengusap wajah dan kedua tangan beliau, barulah setelah
  itu beliau menjawab salam tersebut.”
  (HR. Al-Bukhari no. 337 dan Muslim no. 369) 
4
  Yaitu sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada ‘Ammar
  radhiallahu ‘anhu: 
إِنَّمَا كَانَ يَكْفِيْكَ أَنْ
  تَصْنَعَ هَكَذَا. فَضَرَبَ ضَرْبَةً عَلَى اْلأَرْضِ ثُمَّ نَفَضَهَا ثُمَّ
  مَسَحَ بِهَا ظَهْرَ كَفَّيْهِ بِشِمَالِهِ أَوْ ظَهْرَ شِمَالِهِ بِكَفِّهِ
  ثُمَّ مَسَحَ بِهِمَا وَجْهَهُ 
“Sebenarnya cukup bagimu untuk bersuci dari junub itu dengan
  melakukan hal ini”. Kemudian beliau memukulkan kedua tangan beliau pada tanah
  dengan sekali pukulan lalu mengibaskannya, kemudian mengusap punggung kedua
  telapak tangannya dengan tangan kirinya atau mengusap punggung tangan kirinya
  dengan telapak tangannya, kemudian beliau mengusap wajahnya dengan kedua
  tangannya.” (HR. Al-Bukhari no. 347 dan
  Muslim no. 368) 
5
  Disebutkan dalam riwayat: 
وَنَفَخَ فِيْهِمَا ثُمَّ مَسَحَ
  بِهِمَا وَجْهَهُ وَكَفَّيْهِ 
“Beliau meniupnya kemudian dengan keduanya beliau mengusap
  wajah dan (mengusap) dua telapak tangannya.”
  (HR. Al-Bukhari no. 338 dan Muslim no. 368) 
6
  Seperti pendapat Abu Hanifah, Asy-Syafi’i, dan pengikut keduanya, Ats-Tsauri,
  Ibnu Abi Salamah, dan Al-Laits. Demikian pula pendapat Muhammad bin Abdillah
  bin Abdil Hakam, Ibnu Nafi’, dan Isma’il Al-Qadhi. (Adhwaul Bayan, tafsir
  Surat Al-Maidah ayat 6, masalah ke-3) 
7
  Dengan lafadz: 
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ ضَرْبَةٌ
  لِلْيَدَيْنِ إِلَى الْمِرْفَقَيْنِ 
“Tayammum itu dua kali pukulan,
  sekali untuk wajah dan sekali untuk kedua tangan sampai siku.” | 
SURAT KABAR INDONESIA
- Republika>
- Detik>
- Tempo>
- Kompas>
- Pikiran Rakyat>
- BBC Indonesia>
- Media Indonesia>
- Suara Pembaharuan>
- Tribun>
- Jawa Pos> <
- Okezone>
- Sindonews>
- Merdeka>
- Suara Karya>
- Berita Islam>
- Kumparan>
- Panji Islam>
- RCTI>
- SCTV>
- Indosiar>
- MNC>
- Transtv>
- Trans7>
- GTV>
- Metro TV>
- RTV>
- Berita Satu>
- Inews>
- TVRI>
Cara Bertayammum Dalam Keadaan Sakit atau di Saat Berpergian (Safar)
POPULAR POST
- 
Kali ini, saya share tentang bahasa inggris nya sholat subuh, sholat dhuhur, sholat ashar dst. Bagi anda yang penasaran, langsung saja che...
- 
KUMPULAN SOAL UAMBN BAHASA ARAB MTs. ------------------------------ ----------------------------- ---------------------------------...
- 
Ada kalanya suatu komputer dalam jaringan tidak bisa bekerja selama 24 jam. Alasannya beragam. Bisa jadi komputer dimatikan, upgrade pera...
- 
Do'a Mau Belajar رضيت باالله ربا وباالإسلام دينا بمحمد نبيا ورسولا رب زدني علما وارزقني فهما. أمين Artinya : "Aku rela Allah T...
- 
Loading…
- 
MUQADDIMAH PIDATO 1. Muqaddimah (1) الحمد لله رب العالمين وبه نستعين على أمور الدنيا والدين والصلاة والسلام على أشرف الأنبياء والمرسلين سي...
- 
Silahkan download lembar jawabannya di sini: LEMBAR JAWABAN UAM BAHASA ARAB KLS 9 UJIAN AKHIR MADRASAH MADRASAH TSANAWIYA...
- 
INFORMASI FOR YOU: KISI-KISI PAT BAHASA ARAB KELAS VII DAPAT DI DOWNLOAD DI SINI : DOWNLOAD LEMBARAN JAWABAN PAT BAHASA ARAB KLS 7 ...
- 
Oleh : Hendi Chan Pengertian Impersonal It Impersonal IT adalah Kata ganti “IT”. It seperti kita tahu selama ini bahwa kata yang men...

 
 
