Pernikahan di Indonesia dibagi menjadi dua:
Pertama:
1. Nikah resmi yaitu pernikahan yang dicatat oleh KUA (Kantor Urusan Agama) dan kedua pasangan mendapat Buku Nikah.
2. Nikah siri (Bahasa Arab: sirri) atau nikah di bawah tangan yaitu pernikahan yang tidak terdaftar atau tidak dicatat oleh KUA dan kedua pasangan tidak mendapat Buku Nikah.
1. Nikah resmi yaitu pernikahan yang dicatat oleh KUA (Kantor Urusan Agama) dan kedua pasangan mendapat Buku Nikah.
2. Nikah siri (Bahasa Arab: sirri) atau nikah di bawah tangan yaitu pernikahan yang tidak terdaftar atau tidak dicatat oleh KUA dan kedua pasangan tidak mendapat Buku Nikah.
Kedua: Nikah siri menurut agama hukumnya sah apabila syarat dan rukunnya terpenuhi.
Dari pertanyaan pertama ada beberapa hal yang dapat saya sampaikan:
Pertama, pernikahan kedua dilakukan dengan cara nikah siri tanpa wali dari pihak istri. Jumhur (mayoritas) ulama’ berpendapat bahwa hukum menikah tanpa wali dari pihak istri adalah tidak sah.
Aisyah, Abu Musa Al-Asyari dan Ibnu Abbas Ra. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: “Tidak sah nikah, kecuali dengan wali dan dua saksi,” (HR Ahmad, Baihaqi, Abu Daud, Turmudzi, hakim dan Ibnu Majah)
Aisyah Ra. meriwayatkan, Rasulullah SAW bersabda: “Wanita yang menikah tanpa izin dari walinya maka nikahnya tidak sah, (HR. Ahmad). Tetapi memutuskan ketidakabsahan pernikahan seseorang perlu ketelitian dan kehati-hatian. Boleh jadi mereka mengantongi surat permintaan dari wali si gadis yang ditujukan kepada penghulu agar penghulu tersebut mewakilinya untuk menikahkan anaknya. Dalam keadaan tertentu, seseorang juga bisa menggunakan wali hakim untuk menikah. Untuk tujuan tanya jawab ini, kita asumsikan keadaannya sesuai pertanyaan saja, yaitu tanpa kehadiran wali (termasuk wali hakim) si gadis maupun surat kuasanya dalam pernikahan tersebut.
Kedua, karena pernikahan tersebut tidak sah menurut pendapat jumhur ulama, maka hubungan intim yang terjadi di antara keduanya adalah hubungan zina. Apabila ada anak yang lahir dari hubungan tersebut, maka anak itu disebut anak zina. Ia dinasabkan pada ibunya bukan pada bapaknya.Bila pada tahun 2009 keduanya nikah secara resmi – tentunya ada wali- maka hubungan intim yang terjadi setelah itu hukumnya halal dan anak yang terlahir adalah anak dari hubungan pernikahan dan dinasabkan kepada bapaknya.
Ketiga, dalam pernikahan tidak disyaratkan rida dari pihak keluarga atau istri pertama. Walaupun istri tidak mengetahui atau mengetahui tapi tidak rida, pernikahan yang syarat-syaratnya terpenuhi tetap sah.
Keempat, cara yang dilakukan suami untuk membohongi keluarga istri pertama yang sedang sakit tersebut bisa dibenarkan dan bisa juga tidak. Membohongi untuk menghindari permasalahan yang lebih besar (seperti istri menuntut cerai atau bertambah sakitnya) dibolehkan, apalagi apabila sang suami khawatir dirinya terjerumus dalam zina bila tidak menikah siri. Tetapi apabila permasalahan atau kekhawatiran dimaksud tidak ada, maka tindakan tersebut tidak dapat dibenarkan. Di saat istri sedang mengalami sakit keras seharusnya suami sabar dan setia mendampinginya. Tindakan yang dilakukan suami menambah rasa sakit yang diderita istri baik secara fisik dan mental.
Hukum Menikahi Istri Orang
Belum ada hukum Islam yang membolehkan seorang wanita memiliki dua suami. Lagi pula, usaha seseorang untuk memisahkan seorang dari suaminya merupakan perbuatan terkutuk.
Allah SWT berfirman:
“Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, (QS An-Nisaa’ [4] : 24).
Upaya yang dilakukan keluarga dengan menentang terjadinya pernikahan tersebut sudah benar hanya saja yang perlu ditekankan adalah memberikan pemahaman yang baik kepada anggota keluarga yang hendak menikah, karena status calon istri masih terikat dalam perkawinan dan bila dia menikah pada saat itu maka dia mendapat dosa besar dan nama baik dirinya dan keluarga di mata masyarakat akan jatuh. Wallahu Ta’ala a’lam.
Penulis: Rusli Hasbi